Kompasiana : Merebaknya serangan ulat bulu di sejumlah daerah Indonesia terakhir ini disinyalir akibat rusaknya keseimbangan rantai makanan. Hilangnya populasi predator alami di alam liar membuat ledakan populasi ulat bulu. Predator pemakan ulat seperti burung, tokek, dan kroto semut rangrang, menjadi komoditas ekonomi yang mempunyai harga yang cukup tinggi di pasaran membuat perburuaan hewan ini pada ambang batas yang mengkhawatirkan.
Peningkatan populasi burung liar di alam bebas pernah meningkat pada waktu heboh penyebaran flu burung, sehingga penggemar burung berkicau menurun dan permintaan di pasaran merosot tajam.
Sudah menjadi hal yang langka bahwa kita masih bisa menikmati kicauan burun liar di pepohonan halaman rumah kita seperti burung Kutilang, burung Prenjak, burung Ciblek yang pada 10 tahun yang lalu masih sering kita dapatkan berkeliaran bebas di sekitar lingkungan rumah kita. Hal serupa juga terjadi pada hewan Tokek mirip cecak besar, hewan yang dulu biasa gampang kita jumpai pada rumah-rumah penduduk maupun pepohonan, di pasaran laris manis dengan harga 10-15 ribu rupiah/ekor. Tokek dipercaya merupakan obat mujarab untuk penyakit kulit, dan permintaan luar negeri komoditi ini untuk ekspor sangat tinggi. Sedangkan kroto/ larva semut Rangrang merupakan pakan favorit burung berkicau dan campuran untuk umpan memancing laku di pasaran dengan harga 75-150 ribu Rupiah/Kg.
Sudah saatnya kita memikirkan bagaimana menangkarkan komoditi - komoditi ini, sehingga penangkapan berlebihan di alam bisa dikurangi, dan keseimbangan ekosistem tidak terganggu dan terjaga.
Sumber : regional.kompasiana.com
|
|
---|
Friday, April 15, 2011
Wabah Ulat Bulu dan Penangkapan Berlebihan Burung Berkicau, Tokek dan Kroto Semut
Labels:
Artikel,
Fenomena,
Lingkungan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment