Showing posts with label Budaya Indonesia. Show all posts
Showing posts with label Budaya Indonesia. Show all posts

Wednesday, June 8, 2011

Asal Mula Blangkon


Blangkon adalah tutup kepala yang digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional jawa. Blangkon sebenarnya bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik. Tidak ada catatan sejarah yang dapat menjelaskan asal mula pria jawa memakai ikat kepala atau penutup kepala ini.

Pada masyarakat jawa jaman dahulu, memang ada satu cerita Legenda tentang Aji Soko. Dalam cerita ini, keberadaan iket kepala pun telah disebut, yaitu saat Aji Soko berhasil mengalahkan Dewata Cengkar, seorang raksasa penguasa tanah Jawa, hanya dengan menggelar sejenis sorban yang dapat menutup seluruh tanah Jawa. Padahal seperti kita ketahui, Aji Soko kemudian dikenal sebagai pencipta dan perumus permulaan tahun Jawa yang dimulai pada 1941 tahun yang lalu.

Ada sejumlah teori yang menyatakan bahwa pemakaian blangkon merupakan pengaruh dari budaya Hindu dan Islam yang diserap oleh orang Jawa. Menurut para ahli, orang Islam yang masuk ke Jawa terdiri dari dua etnis, yaitu keturuan Cina dari Daratan Tiongkok dan para pedagang Gujarat. Para pedagang Gujarat ini adalah orang keturunan Arab. Mereka selalu mengenakan sorban, yaitu kain panjang dan lebar yang diikatkan di kepala mereka. Sorban inilah yang menginspirasi orang jawa untuk memakai iket kepala seperti halnya orang keturunan Arab tersebut.

Ada teori lain yang berasal dari para sesepuh yang mengatakan bahwa pada jaman dahulu, iket kepala tidaklah permanen seperti sorban yang senantiasa diikatkan pada kepala. Tetapi dengan adanya masa krisis ekonomi akibat perang, kain menjadi satu barang yang sulit didapat. Oleh sebab itu para petinggi keraton meminta seniman untuk menciptakan ikat kepala yang menggunakan separoh dari biasanya untuk efisiensi. Maka terciptalah bentuk penutup kepala yang permanen dengan kain yang lebih hemat yang disebut blangkon.

Pada jaman dahulu, blangkon memang hanya dapat dibuat oleh para seniman ahli dengan pakem (aturan) yang baku. Semakin memenuhi pakem yang ditetapkan,  maka blangkon tersebut akan semakin tinggi nilainya. Seorang ahli kebudayaan bernama Becker pernah meneliti tata cara pembuatan blangkon ini. Ternyata pembuatan blangkon memerlukan satu keahlian yang disebut “virtuso skill”. Menurut nya: “That an object is useful, that it required virtuso skill to make –neither of these precludes it from also thought beatiful. Some craft generate from within their own tradition a feeling for beauty and with it appropriate aesthetic standards and common of taste”.

Penilaian mengenai keindahan blangkon, selain dari pemenuhan terhadap pakem, juga tergantung sejauh mana seseorang mengerti akan standar cita rasa serta ketentuan-ketentuan yang sudah menjadi standar sosial. Pakem yang berlaku untuk blangkon, ternyata bukan hanya harus dipatuhi oleh pembuatnya, tetapi juga oleh para penggunanya. Seperti yang diungkapkan oleh Becker sebagai berikut: “By accepting beauty as a criterion, participants in craft activities on a concern characteristic of the folk definition of art. That definition includes an emphasis on beauty as typified in the tradition of some particular art, on the traditions and concerns of the art world itself as the source of value, on expression of someone’s thoughts and feelings, and on the relative freedom of artist from outside interference with the work”.

Blangkon Jogja
Blangkon pada prinsipnya terbuat dari kain iket atau udeng berbentuk persegi empat bujur sangkar. Ukurannya kira-kira selebar 105 cm x 105 cm. Yang dipergunakan sebenarnya hanya separoh kain tersebut. Ukuran blangkon diambil dari jarak antara garis lintang dari telinga kanan dan kiri melalui dahi dan melaui atas. Pada umumnya bernomor 48 paling kecil dan 59 paling besar. 

Blangkon terdiri dari beberapa tipe yaitu : Menggunakan mondholan, yaitu tonjolan pada bagian belakang blangkon yang berbentuk seperti Onde-onde. Blangkon ini disebut sebagai blangkon gaya Yogyakarta. Tonjolan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon. Lilitan rambut itu harus kencang supaya tidak mudah lepas.
 

Model trepes, yang disebut dengan gaya Surakarta. Gaya ini merupakan modifikasi dari gaya Yogyakarta yang muncul karena kebanyakan pria sekarang berambut pendek. Model trepes ini dibuat dengan cara menjahit langsung mondholan pada bagian belakang blangkon. Selain dari suku Jawa (sebagian besar berasal dari provinsi Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur), ada beberapa suku laindi Indonesia yang memakai iket kepala yang mirip dengan blangkon jawa yaitu : suku Sunda (sebagian besar berasal dari provinsi Jawa Barat dan Banten), suku Madura, suku Bali, dan lain-lain. Hanya saja dengan pakem dan bentuk ikat yang berbeda-beda. 

sumber : www.rileks.com melalui caesarsoes.blogspot.com

Tuesday, May 24, 2011

1000 Motif Batik Dipamerkan di Surabaya


Produk nasional sungguh sangat tidak ketinggalan dan tidak kalah jika dibandingkan dengan produk-produk busana manca negara. Tinggal penanganannya saja yang perlu ditingkatkan agar batik menjadi busana tuan rumah di negeri sendiri.

Hal itu bisa dilihat dalam pameran batik bordir dan aksesoris fair di Gramedia Expo yang dihelat mulai tanggal 18 sampai 22 Mei 2011. Dalam pameran ini banyak aneka ragam batik dari seluruh tanah air yang ikut serta, ada batik Yogya, Batik Solo, Batik Pekalongan, Batik Madura, Batik Sidoarjo, Batik Jember dan lainnya. “Pokoknya nggak nyangka kalo batik itu sangat banyak jenisnya dengan harga yang beraneka ragam,” ujar Ayu salah satu pengunjung yang mengaku sangat menyukai batik-batik dari Pekalongan ini.


Para pengunjung pada pameran saat ini cukup banyak. Dalam pameran yang juga diperkenalkan catatan Rekor Muri dari pengrajin batik di Jawa Timur dengan membuat 1000 motif batik dan pemberian pengharagaan kepada pemenang lomba desain batik serta pemberian hak paten terhadap empat merk batik dari  Kabupaten Pacitan, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Bojonegoro dan Kabupaten Magetan.

Even ini juga mendapat dukungan dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Kementerian Negara Koperasi dan UKM,  Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Timur, Yayasan batik Indonesia, Kamar Dagang dan Industri Jawa Timur dan Dekranasda Provinsi Jawa Timur.

Cantiknya Batik Suroboyo

Sebagai warga Surabaya, saya kaget bahwa di kota kelahiran saya ini ternyata juga ada tradisi membatik. Saya baru tahu. Jadi malu nih. Berikut ini artikelnya :


Datang ke Surabaya bingung cari tanda mata yang tak biasa. Ada satu yang kiranya pas di hati, adalah Batik Suroboyo.

Hampir di semua kota yang ada di Jawa Timur memiliki batik sesuai karakter daerah masing-masing. Di Surabaya misalnya, siapa sangka terdapat kerajinan batik yang punya corak khas dari kota ini.

Batik Suroboyo, sekilas memang tidak berbeda dengan batik-batik daerah lain. Seperti batik Madura, batik Jember, batik Mojokerto, batik Jombang, dan batik Kenongo Sidoarjo. Semua pada dasarnya sama, yaitu batik tulis yang dikerjakan tangan-tangan terampil. Namun, bila kita amati mendetail maka tampak perbedaannya.

Motif khas ayam aduan dalam legenda Sawunggaling dan Daun Semanggi, merupakan ikon batik Suroboyo. Putu Sulistiani Prabowo, 50 tahun, adalah seorang penggagas dari lahirnya batik khas Kota Surabaya. Untuk kemudian lebih dikenal dengan sebutan Batik Suroboyo itu.

Inspirasi Putu dalam menciptakan kreasi Batik Suroboyoan, bermula dari cerita lahirnya Surabaya. Sehingga muncul motif ayam sawunggaling dan semanggi yang juga menjadi ikon dari Kota Metropolis ini.
Namun begitu, Putu mengaku berbagai corak coba terus digali dan dikembangkan. Bahkan kedepan dirinya akan menggunakan corak bergambar ayam, ayam bekisar, merak, atau motif lain seperti buaya. Motif ini nantinya dimodifikasi lagi sedemikian rupa untuk dikreasi di atas kain.

Selain pada motif, ciri khas lain dari Batik Suroboyo menurut penjelasan Putu ada pada warna. “Warna khas batik kita adalah cerah, sesuai dengan karakter orang Surabaya yang berani,” kata pemilik galeri dan workshop batik Dewi Saraswati ini.

Berkembang

Semula yang membantu Putu dalam membatik hanya tiga orang saja. Dua orang pembatik dan satu orang untuk pewarnaan. Dan, kini karyawannya sudah berjumlah 29 orang. Proses pembuatannya dilakukan di galeri dan workshop miliknya di Jalan Jemursari Utara II/19, Surabaya.

Mengenai proses pembuatan sama dengan batik umumnya. Mulai dari bahan dasar kain yang diberi kanji, digambar, dan seterusnya. Sedangkan pewarnaan, masih menggunakan pewarna sintetis, kini dirinya juga mulai pewarna alam.

“Menggunakan pewarna sintetis karena mengikuti keinginan pasar yang cenderung lebih suka warna-warna mencolok,” ujar ibu berusia 52 tahun itu.

Untuk bahan sebagai media kreasi, kini yang digunakan tidak hanya kain katun saja. Melainkan juga sudah menggunakan kain tenun. Beberapa bahan tenun lain, seperti serat kayu atau pelepah pisang pun digunakan.

Produk yang dihasilkannya beragam. Ada kain panjang atau selendang, bahan hem, syal, scraft, dan kebaya.

Harganya juga cukup bervariasi, untuk bahan katun sekitar Rp. 400 ribu sampai Rp. 1 juta. Sedangkan yang berbahan sutra harganya bisa mencapai Rp. 2 sampai 3 juta, atau bahkan lebih.

“Tapi tinggi dan rendahnya harga itu tergantung pada motif dan bahannya,” imbuh sekretaris Asosiasi Tenun, Batik, dan Bordir (ATBB) se-Jatim ini.

Pemasaran

Untuk bentuk pemasaran Batik Suroboyo, Putu mengaku masih ditangani sendiri. Seperti tetap eksis di galeri miliknya, dengan alasan untuk tetap menjaga eksklusifitas produknya. Di galeri miliknya itu, pengunjung bisa langsung melihat proses pembuatan batik. Bahkan, imbuh Putu, tempatnya bisa dijadikan alternatif jujugan wisata di Surabaya.

Selain itu, produknya banyak diserap pasar terutama pada ajang-ajang pameran, atau bila ada kunjungan tamu. “Dari situlah Batik Suroboyo dapat lebih dikenal masyarakat luas,” kata ibu 2 anak ini.

Mencermati persaingan yang terus berkembang, dirinya mengatakan perajin batik ibarat seniman. Kita harus dituntut untuk terus pandai membaca kemauan pasar. Lalu mengembangkannya dalam motif, warna, dan bahan.

Sumber : www.eastjavatraveler.com
naskah : m.ridlo’i | foto : wt atmojo

Friday, April 1, 2011

Budaya Indonesia

Wayang Kulit (Jawa Tengah)
Batik (Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat)
Tari Remo (Surabaya, Jawa Timur)
Reog (Ponorogo, Jawa Timur)
Ludruk (Surabaya, Jawa Timur)
Karapan Sapi (Madura, Jawa Timur)
Pencak Silat (Nasional)
Tari Kecak (Bali)
Tari Payung (Sumatra Barat)
Tari Tor Tor (Sumatra Utara)
Tari Srimpi (Solo, Jawa Tengah)
Wayang Golek (Jawa Barat)
Wayang Orang (Jawa Timur, Jawa Tengah)
Gamelan Jawa
Keris (Jawa, Bali, Sumatra)
Gamelan Bali

Sebenarnya masih banyak lagi budaya Indonesia yang belum ditampilkan di sini.
Oh ya, ada satu budaya lagi yang sudah mengakar di Indonesia. Ini dia :

Korupsi!

Dan ini budaya yang berkembang di Indonesia sejak + 15 tahun terakhir, tapi jangan ditiru ya!

Anarki, Amuk Massa, Tawuran, dll.