Showing posts with label Rona Kehidupan. Show all posts
Showing posts with label Rona Kehidupan. Show all posts

Wednesday, June 1, 2011

Malam Jahanam

Entah setan mana yang merasuki jiwanya, hingga ia memaksa aku untuk melayani nafsu birahinya.  

Tak banyak yang bisa aku perbuat, kecuali hanya mendengarkan kawan-kawan SMA-ku bicara tentang perguruan tinggi yang akan dimasukinya.Sebenarnya aku ingin sekali seperti mereka. Tamat SMA masuk sebuah perguruan tinggi favorit. Otakku, aku rasa cukup mampu untuk itu. Tetapi untuk melanjutkan ke perguruan tinggi otak saja tidak cukup tanpa dukungan dana yang memadai. Aku meski harus memupus impianku. Untuk bisa menamatkan SMA saja, perjuangan orangtuaku sudah habis-habisan. lbaratnya, kepala digunakan untuk kaki, dan kaki digunakan sebagai kepala. Jungkir balik, hutang sana hutang sini. Aku harus tahu diri, kalau aku bukan terlahir dari keluarga berada.

Aku pun mencoba menghibur diri, saat kawan-kawanku mengatakan kalau ingin sukses harus jadi sarjana terlebih dahulu. Aku menyangkal pendapat itu. Kenyataannya, banyak orang sukses tanpa harus menjadi sarjana terlebih dahulu. Bahkan, tidak sedikit yang hanya tamatan SD menjadi orang sukses dan hidupnya bergelimang harta. Jadi jangan salah sangka jika aku berpendapat demikian. Pendidikan tinggi, menurutku memang perlu. Tetapi hidup sukses bukan semata-mata ditentukan oleh gelar kesarjanaan seseorang. Ah, memang aku harus pintar-pintar menghibur diri agar keinginan yang tidak kesampaian tidak memicu munculnya pemberontakan diri yang tidak nalar. Barangkali, aku memang harus bisa menerima kenyataan seperti apa adanya.

Karena itu, setamat SMA aku mencoba mencari pekerjaan. Aku tinggalkan kampung halamanku, Wonogiri, Jawa Tengah. Aku ingin mengadu nasib ke Surabaya, Jawa Timur. Orangtuaku melepas kepergianku dengan berat hati. Mungkin karena aku ini seorang perempuan, dan baru kali ini bepergian jauh. Apalagi, kepergianku kali ini untuk mengadu nasib, sehingga tidak mungkin balik ke kampung halaman dalam waktu yang singkat.

Meski baru pertama kali menjejakkan kaki di Surabaya, tetapi aku tidak perlu bingung. Sebab, di kota metropolitan itu ada kakakku, sebut saja Mbak Nungky. Dia sudah berkeluarga. Kedatanganku yang tak pernah terduga-duga itu merupakan kejutan tersendiri buat Mbak Nungky sekeluarga. Kedatanganku pun mendapat sambutan hangat. Aku harus bersyukur dan bahagia sekali. Aku utarakan maksud kedatanganku ke Surabaya. Aku ingin mengadu nasib, meski hanya dengan bekal ijazah SMA. Mbak Nungky mendukungku, dan menyemangatiku.

"Memang Kanti, susah sih kalau hanya tamatan SMA. Itulah sebabnya, kamu harus kursus-kursus dulu, sebelum mencari pekerjaan," saran Mbak Nungky kepadaku. Aku maklum. Mbak Nungky benar, tetapi bagaimana dengan biaya untuk kursus-kursusku itu ? Kepada Mbak Nungky, aku pun mengatakan kalau aku mau bekerja apa saja, setelah berpenghasilan baru mencari kursusan. Ya, hanya dengan begitu aku tidak merepotkan Mbak Nungky. Tetapi rupanya Mbak Nungky tidak sependapat denganku. Aku malah tetap dimintanya kursus komputer, Bahasa Mandarin dan Bahasa Inggris, sebelum mencari pekerjaan. Dan semua itu atas biaya Mbak Nungky. Sebenarnya, aku merasa tidak enak dengan kebaikan Mbak Nungky yang aku rasa tulus itu.

Hari-hari pertama hidup di Surabaya, perasaanku penuh keterasingan. Kendati begitu, aku tak pernah surut dari keinginan semula, mengadu nasib dan menyusun masa depan. Aku yakin, perasaan ini hanya akan berlangsung sementara saja. Ya, sampai aku bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan yang baru. Dan, apa yang telah menjadi keyakinan itu terus aku pelihara. Suatu ketika, pembantu rumah tangga Mbak Nungky pamit pulang. Mbak Nungky dan suaminya, Mas Prasetyo, tidak berhasil mencegah kepergiannya. Kasihan aku melihat Mbak Nungky yang waktu itu sedang hamil tua. Apa boleh buat, sejak kepergian pernbantu rumah tangganya, segala pekerjaan rumah yang semula menjadi tanggung jawab pembantu, aku kerjakan. Untungnya hal tersebut tidak berlangsung lama, karena suatu hari seorang tetangga mbakku yang baru pulang dari Lamongan, Jawa Timur, ini membawa seorang wanita desa. Wanita itu ditawarkannya kepada mbakku untuk dijadikan pembantu. Mbak Nungky langsung setuju, dan sejak itulah aku diminta mengajari Emak, demikian aku menyebut pembantu Mbak Nungky yang baru ini, tentang apa-apa yang mesti dikerjakan.

Beberapa waktu kemudian, Mbak Nungky masuk rumah sakit untuk menghadapi proses persalinannya. Untuk sementara dua orang anaknya dipasrahkan kepadaku. Aku diminta merawat dan mengasuhnya baik-baik. Tanpa diminta pun, amanat itu mesti akan aku laksanakan. Sebab, bagaimanapun keponakan-keponakanku tak ubahnya anakku sendiri. Sejak masuk rumah sakit, tugas malamku menidurkan dan mengeloni kedua anak kakakku itu. Sementara melaksanakan tugas itu, aku berperang melawan perasaan harap-harap cemas atas persalinan Mbak Nungky. Aku selalu berdoa untuk kelancaran proses persalinannya. Aku terhadap, selamat untuk yang melahirkan dan selamat juga untuk yang dilahirkan.

Malam kedua Mbak Nungky masuk rumah sakit, peristiwa yang sama sekali tak pernah aku impikan terjadi tanpa aku bisa mencegahnya. Ketika aku sedang meninabobokkan kedua keponakanku, tiba-tiba kakak iparku menerobos masuk ke kamar kami. Semula, aku tak punya prasangka atau pikiran buruk apa pun. Aku pikir Mas Pras hanya ingin bermanja-manja dengan kedua anaknya. Tetapi apa yang terjadi, sungguh di luar dugaanku. Entah setan mana yang merasuki jiwanya, hingga ia memaksa aku untuk melayani nafsu birahinya. Aku berusaha habis-habisan untuk bertahan dan menolak ajakan tak terpuji itu. Tercium aroma alkohol dari mulut Mas Pras. Malam jahanam itu pun menjadi titik awal hancurnya hidupku. Aku tak bisa bercerita banyak, bagaimana aku mempertahankan keperawananku terhadap kakak iparku. Entah bagaimana, tiba-tiba aku merasa berada pada sebuah titik ketidakberdayaan yang menggiriskan.

Di bawah ancaman senjata tajam, aku diperkosa Mas Pras saat kedua keponakanku tidur pulas menggapai mimpi indahnya. Aku hanya bisa menangis, dan meratapi nasibku melihat noktah merah yang terpercik di seprei merah jambu itu. Hatiku serasa hancur berkeping-keping, dan pandanganku mendadak berkunang-kunang. Aku berharap, peristiwa di malam jahanam itu tidak akan pernah terulang lagi.

Tetapi, harapan itu tinggal hanya harapan. Sungguh betapa susahnya menerka ke mana perjalanan hidup akan membawaku. Betapa tidak, setelah peristiwa di malam jahanam itu, kelakuan kakak iparku semakin bejat saja. Tragisnya, aku semakin tak berdaya dan tak pernah menemukan jalan keluar. Mungkin ini kesalahanku sendiri, mengapa aku tidak berani nekad, misalnya balik ke Wonogiri saja ?

Sementara aku terus terlibat dalam permainan tak terpuji, aku menjalin hubungan dengan seorang lelaki sebaya, sebut saja Mas Yudha, seorang mahasiswa pada sebuah PTS di Surabaya. Hubunganku semakin hari semakin intim saja.Terus terang, di antara kami sama-sama saling mencintai. Satu ketika, tanpa aku duga-duga pula Mas Yudha minta bukti cintaku kepadanya. Semula, aku bingung. Aku tidak mengerti arah pembicaraan Mas Yudha. Karenanya, dengan polos kutanyakan kepadanya,"Apa yang bisa membuatmu percaya, kalau aku memang benar-benar mencintaimu, Mas Yudha ?" Mas Yudha membisikkan sesuatu ke telingaku. Aku baru paham, maksud Mas Yudha minta bukti cintaku kepadanya. Karena aku memang benar-benar mencintainya, maka tanpa pikir panjang langsung saja aku kabulkan keinginan Mas Yudha. Tetapi apa yang terjadi setelah kejadian itu berlangsung? "Kamu sudah tidak perawan lagi, ya?" demikian reaksi Mas Yudha ketika pertarna kali merasakan kehangatan tubuhku.

Mendapat pertanyaan begitu, aku bungkam seribu bahasa. Sungguh, aku tidal pernah menyangka kalau Mas Yudha akan mempersoalkan itu. Haruskah aku katakan yang sebenarnya bahwa kakak iparku-lah yang telah merampas mahkotaku ? Percayakah Mas Yudha akan pengakuanku ini ? Aku gelisah bukan main memikirkan hal itu. Waktu terus bergulir. Hubunganku dengan Mas Yudha terus berjalan. Aku agak sedikit lega, karena Mas Yudha tak lagi menyinggung soal kesucianku. Tetapi sejak itu, ia sering minta aku layani. Hubungan kami pun lambat laun lazimnya pasangan suami-istri. Setiap saat Mas Yudha ingin kehangatan tubuhku, aku pun berusaha untuk tidak mengecewakannya.

Singkat cerita, aku pun hamil. Tetapi aku tak tahu siapa yang lebih pantas disebut bapak oleh janin yang mengeram dalam rahimku ini. Sebab, selain dengan Mas Yudha, Mas Pras sering juga memaksaku. Sejauh itu, Mbak Nungky tidak tahu-menahu soal kelakuan bejad suaminya kepadaku. Aku sendiri juga tidak mungkin memberitahukannya kepada Mbak Nungky. Sementara kandunganku semakin berumur. Ingin rasanya aku menempuh jalan pintas, menggugurkan kandunganku. Tetapi, persoalannya, untuk sebuah jalan pintas itu butuh uang dan kenyataannya aku tak pernah mempunyainya. Akhirnya aku katakan kepada Mas Pras, dan jawaban yang aku peroleh, aku disuruh segera menikah dengan Mas Yudha.

Sekedar untuk diketahui, hubunganku dengan Mas Yudha juga sepengetahuan dirinya. Tetapi ketika aku minta pertanggungjawaban Mas Yudha, aku justru diminta menggugurkan si janin. Soal biaya, Mas Yudha yang akan menanggungnya. Karena tak melihat jalan keluar lain selain aborsi, maka dengan diantar Mas Yudha, aku berangkat ke daerah Malang Selatan untuk aborsi. Usaha aborsi gagal total, meskipun bermacam jampi-jampi dan ramuan-ramuan tradisional tandas aku tenggak. Apa boleh buat, meski terpaksa akhirnya Mas Yudha menikahiku juga.

Sekitar 6 bulan setelah melangsungkan pernikahan dengan Mas Yudha, aku melahirkan seorang bayi perempuan yang cantik. Astaga, di luar dugaan, anak yang aku lahirkan itu menyandang banyak cacat fisik. Mulutnya sumbing, tidak mempunyai empat jari kecuali ibu jari saja, tidak memiliki jari kelingking dan jari manis sebelah kanan, serta telinga kirinya carat, seperti terlipat ke depan. Pertama kali melihat kondisi bayi kami yang demikian, aku dan Mas Yudha menangis sejadi-jadinya. Dunia serasa kiamat. Aku tidak tahu, apa yang mesti aku perbuat. Demikian juga dengan Mas Yudha. Haruskah aku membuang anakku di tempat sampah ? Oh Tuhan, maafkan hambaMu ini, jika sampai mempunyai pikiran yang demikian tidak terpuji.

Apa pun dan bagaimanapun keadaannya, aku akhirnya bertekad untuk merawat dan membesarkan bayiku yang cacat itu. Tetapi untuk mencegah agar hati kami tidak makin terluka oleh olok-olok dan nyinyir mulut para tetangga, maka bayiku aku besarkan dalam "persembunyian" yang sedemikian rupa ! Anakku senantiasa dalam keadaan terbungkus selimut rapat-rapat. Sebab, hanya dengan cara ini sejumlah kecacatannya tidak sampai diketahui orang lain.

Seiring dengan berlalunya hari, anakku tumbuh berkembang sebagai anak perempuan yang cantik, lucu, pintar serta menggemaskan meskipun cacat. Sementara anak kami makin tumbuh dan berkembang, Mas Yudha menjalin hubungan dengan wanita lain. Jika semula perselingkuhannya dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, lambat-laun dilakukan secara terang-terangan. Mas Yudha seolah sengaja memancing emosiku, dan berharap aku minta cerai. Memang pada akhirnya aku minta cerai pada Mas Yudha. Tetapi ini semata-mata aku lakukan untuk menjaga hati dan perasaan anak kami yang cacat itu. Sebab, Mas Yudha sering melampiaskan kekesalan hatinya pada anak kami yang malang ini. Rupanya Mas Yudha belum bisa menerima kenyataan seperti apa adanya, hingga ia sering melampiaskan kekecewaannya pada anak kandungnya sendiri.

Ya Tuhan ampuni dosa-dosa hambaMu yang hina ini dan berikanlah petunjukMu agar aku bersama anakku dapat menjalani kehidupan di dunia yang fana ini atas ridhoMu, Amiin. (Seperti dituturkan Kinanti pada Roy Pujianto)R.26

Sumber : Majalah Fakta No. 563

Thursday, May 19, 2011

Luka di Atas Luka

Begitu kasarnya, rok serta celana dalamku sampai robek. Secepat kilat pula laki-laki jahanam itu merenggut mahkotaku.

Aku pulang dari rantau setelah bertahun-tahun di negeri orang. Oh ... Malaysia..... lagu itu terasa indah di telingaku. Dan, aku sangat suka menyanyikannya. Terlebih setelah kumiliki kenangan di Malaysia, lagu itu terasa hanya milikku seorang. Ya, aku memang memiliki kenangan indah di negeri jiran tersebut. Kenangan yang tak terlupakan. Namun kenangan indah itu seolah terampas oleh kenangan pahit yang membuatku trauma. Empat tahun aku bekerja di Malaysia. Tentu bukan waktu yang singkat. Di sana pula kurajut tali asmara dengan seorang laki-laki asal Sumedang, Jawa Barat. Disanalah kami bertemu. Di sana pula kami merasa senasib, seperjuangan dan seperjalanan. Kisahku menjadi kisahnya, kisah dia menjadi kisahku pula. Itulah awal kebersamaan kami. Kala itu dia, kekasih yang biasa kupanggil dengan panggilan Kang Surya, bekerja sebagai kuli bangunan. Sementara aku, bekerja sebagai PRT di sebuah keluarga besar. Kami berdua sama-sama berada di Telang. Oleh karena itu kami memiliki waktu cukup untuk bertemu. Bahkan aku juga memiliki kesempatan (terkadang) menyisihkan sedikit makananku untuk Kang Surya.

Di keluarga Ping Tjwan tempatku bekerja aku bukan satu-satunya PRT. Di sana ada dua orang PRT lain, tetapi mereka laki-laki semua, dan keduanya berasal dari Sidoarjo, Jawa Timur. Keluarga Ping Tjwan memiliki usaha konveksi khusus pakaian dalam wanita. Jika boleh kusebut, usaha mereka semacam home industry, yang tempatnya di samping rumah, di bagian belakang. Kami para PRT tidak diijinkan ke tempat konveksi. Demikian pula para buruh di tempat konveksi, tidak diijinkan masuk ke dalam rumah tinggal keluarga Ping, kecuali orang-orang tertentu. Kami masing-masing telah memiliki bagian dan pekerjaan yang berbeda. Tetapi bukan itu yang aku ceritakan.Yang jelas, aku merasa betah bekerja di keluarga Ping. Namun terus terang, terkadang aku tidak cocok dengan masakannya. Perlu kujelaskan, keluarga Ping memiliki tukang masak, yang setiap hari datang pergi dan pulang setelah usai memasak. Karena masakan mereka masakan yang terkadang menggunakan lemak babi, maka aku masak sendiri. Artinya, aku masak untuk tiga orang, yakni untukku dan untuk dua temanku yang lain. Sekali lagi, hal itu sama sekali bukan masalah. Segalanya berjalan sebagaimana mestinya. Dan, aku menikmati kehidupanku di dalam keluarga Ping.

Sebagai PRT, aku mendapat libur satu minggu sekall, yakni setiap hari Minggu. Nah, hari libur itulah yang selalu kumanfaatkan untuk bertemu dengan Kang Surya. Terkadang kami sekedar jalan-jalan di plasa, sekedar makan di rumah makan Padang, belanja di pasar atau hanya duduk-duduk di taman pojok kota. Meski hubungan kami sangat biasa, tetapi aku menikmati hubungan tersebut. Apalagi Kang Surya mengaku masih jejaka, ah.....berbunga-bunga hatiku. Ini artinya, aku tak salah pilih. Sebab aku juga masih lajang. Kami berencana akan segera menikah jika kontrak kerja kami masing-masing telah usai. Sebuah rencana yang indah, seindah lagu "Semalam Di Malaysia". Dan, rencana itu telah kusampaikan pula pada orangtuaku melalui surat. Bahkan foto kami berdua (aku dan Kang Surya) sudah kukirim pula ke kampung halamanku. Itulah rencana.

Sampai suatu hari Kang Surya mengalami kecelakaan di tempat kerjanya. Ia terjatuh saat membawa Theodolite dan tulang keringnya (kanan) tertusuk besi hingga tembus ke tulang betis. Meski tidak sampai pingsan tetapi Kang Surya harus menjalani rawat inap di RS. Bahkan harus dilakukan operasi untuk mengeluarkan besi yang menancap tersebut. Aku sedih, sangat sedih ! Aku merasa kehilangan Kang Surya. Apalagi aku tidak memiliki banyak waktu untuk menunggunya di RS. Apa boleh buat. Aku terpaksa hanya sebatas menjenguknya di RS. Dan, itu semakin membuat hatiku remuk. Dapat kubayangkan betapa Kang Surya merasa kesepian. Di tanah rantau, dia tidak memiliki sanak-saudara masih harus menderita pula. Terlebih di rantau, Kang Surya hanya sebagai TKI ilegaI. Untung saja majikan Kang Surya mau bertanggung jawab. Semua biaya perawatan Kang Surya ditanggungnya.

Sementara Kang Surya meniti hari-hari sepi di RS, aku mengalami nasib yang lebih pahit. Suatu sore menjelang Maghrib, salah seorang karyawan konveksi keluarga Ping datang ke rumah tempatku bekeja. Ia mengantar beberapa gulung kain yang akan dimasukkan ke gudang dengan menggunakan gerobak dorong. Oleh karena kami sudah terbiasa bertemu, maka basa-basi pun kami lakukan. Kami bertegur sapa seperti biasanya. Lalu dengan logat Malaysianya yang patah-patah, laki-laki asal Pakistan itu menanyakan keberadaan majikanku yang perempuan. Tentu saja kujawab apa adanya bahwa yang dia cari sedang tidak berada di rumah. Senyum lebar terkembang di wajah laki-laki yang mengaku berasal dari Pakistan tersebut. Matanya nanar dan nyalang menyambar wajahku.

Dalam sekejap aku merasa tubuhnya yang hitam tinggi itu sudah mendorongku ke dalam gudang yang sepi. Dengan cepat pula tangannya yang kuat membekap mulutku. Aku sadar bahwa aku sedang dalam keadaan darurat. Aku sadar bahwa aku sedang dalam cengkeraman laki-laki "lapar". Tetapi tenagaku tak berarti apa-apa. Perlawananku sekuat tenaga, seolah habis dan bagai membuang energi cuma-cuma. Laki-laki itu benar-benar kasar ! Begitu kasarnya, rok serta celana dalamku sampai robek. Bahkan dengan sangat cepat celana dalamku tertanggal dari tempatnya. Secepat kilat pula laki-laki jahanam tersebut merenggut  mahkota keperawananku.

Dan, ketika dia lunglai dalam kepuasannya, dia pun lengah. Kesempatan tersebut kugunakan untuk menjerit sekuat tenaga. Dia seperti tersadar dari perbuatan bejadnya setelah aku menjerit. Laki-laki itu dengan cepat membekap mulutku lagi. Tapi terlambat. Suaraku telanjur keluar menembus dinding gudang. Beberapa saat kemudian pintu gudang dijebol seseorang dari arah luar. Laki-laki yang memperkosaku itu pun bergegas membenahi diri lalu kabur setelah sempat beradu jotos dengan dengan laki-laki lain yang baru masuk ke gudang. Aku menangis. Sementara gudang semakin gelap, karena lampunya memang tidak dinyalakan. Kusesali musibah yang baru saja terjadi. Ya, aku baru saja diperkosa. Aku butuh pertolongan. Maka aku pun lega ketika ada laki-laki lain datang sehingga si pemerkosaku lari tunggang-langgang dan tak pernah kembali lagi. Kabar yang kuterima belakangan, laki-laki yang telah memperkosaku itu pulang ke negaranya, Pakistan.

Akan halnya aku yang masih terpuruk dalam kesedihan dan keterkejutan luar biasa di dalam gudang yang gelap, berharap pertolongan datang dengan segera. Tapi aku bagai terayun dalam khayal sesaat. Sebab laki-laki lain yang baru saja masuk ke gudang dan berhasil menghalau si pemerkosaku tadi tak lebih baik dari pemerkosa pertamaku. Mulanya, laki-laki kedua itu memang sempat memelukku sambil berbisik menenangkanku. Kata-katanya tenang dan teduh. Bahkan ia sempat mengatakan akan mengantarku ke dokter. Ah... hatiku lega. Perasaanku sedikit tenang meski aku tak bisa menatap wajah laki-laki kedua tersebut. Gelap di dalam gudang semakin pekat. Bahkan udaranya terasa semakin gerah. Laki-laki itu masih berbisik dan berkata-kata dengan sangat pelan. Tetapi aku tak pernah mengenal suaranya. Dan, aku tak peduli dia siapa. Aku tak peduli meski dia seorang asing yang benar-benar asing. Bagaimana tidak asing ? Menangkap bayangan pun aku tak mampu. Dan, aku menurut saja ketika dia membimbingku berdiri. Oh ... aku nyaris tak dapat berdiri. Pangkal pahaku sakit sekali dan seperti diganjal batu kali sebesar bakul nasi. Pinggangku juga bahkan sangat sakit sekali. Tetapi aku mencoba melangkah mengikuti bimbingan laki-laki penolongku tersebut.

Dalam sesaat, dalam sekejap mata dan semua terasa sekonyong-konyong, aku bagai dibanting di atas tumpukan kain. Aku tak sempat berpikir. Berteriak pun tak sempat, serangan berikutnya sudah menyerangku dengan telak. Laki-laki penolongku itu membekap mulutku, lalu menyumpal mulutku dengan kain. Meski begitu, aku masih bisa bergerak kendati sangat terbatas, karena kedua tanganku dia ikat dengan kain pula. Ternyata laki-laki itu lebih kejam dari yang pertama tadi. Dia meninju ulu hatiku sampai aku tak bisa bernapas dan serasa mau pingsan. Dengan lebih kasar dan lebih kejam dari laki-laki sebelumnya, dia menarik bajuku dan melucuti semua kain yang menempel di tubuhku. Lalu, aku dibantingnya lagi, ditarik, ditendang sampai aku tak ingat apa-apa lagi.

Saat tersadar, aku seperti berada di antara alam nyata dan mimpi. Sekelilingku terasa putih dan bau alkohol keras menembus penciumanku. Samar-samar terdengar suara-suara, yang terkadang dekat dan terkadang menjauh. Sesaat kemudian, majikanku mendekatiku. Dia tidak banyak bicara. Lalu sesaat berikutnya, majikanku yang lain masuk ke ruangan menyertai seseorang, yang belakangan kuketahui seorang dokter. Aku berpikir sedang berada di RS. Ternyata aku keliru. Aku sedang berada di salah satu kamar di rumah majikanku. Kamar tersebut memang bercat putih dan bersih. Biasanya, kamar itu digunakan untuk tamu yang menginap. Di sanalah aku dirawat. Seorang pembantu perempuan (entah dari mana), rajin merawatku. Dokter juga rajin mengunjungiku. Hingga akhirnya aku benar-benar sehat dan sembuh.

Saat aku sudah diijinkan meninggalkan kamar tempatku dirawat, aku pun menanyakan apa yang sesungguhnya terjadi padaku. Tetapi majikanku terkesan tutup mulut. Meski begitu, mereka tetap kunilai baik, bertanggung jawab hingga aku benar-benar sembuh dan diijinkan bekerja lagi. Bahkan aku juga diijinkan menikmati masa liburku di hari Minggu.

Minggu pertama sejak aku sembuh dari kejadian buruk yang menimpaku, aku langsung menuju ke proyek tempat Kang Surya bekerja. Ternyata Kang Surya sudah pindah ke barak yang lain di mana dulu ia pernah tinggal. Kakiku pun kuayun menuju ke barak yang dimaksud teman-teman Kang Surya. Aku baru saja sampai di sana ketika seseorang yang juga kukenal mengatakan bahwa Kang Surya sedang ada urusan dengan teman yang lain. Aku bermaksud menunggu Kang Surya. Di sana barang-barang pribadi Kang Surya seperti sepatu, tas dan beberapa lembar baju serta sebuah celana jeans milik Kang Surya teronggok di meja kayu kecil. Tanganku lancang menggerayangi kantong celana jeans Kang Surya. Apa yang kudapat ? Sepucuk surat dari kampungnya. Dengan lebih lancang, kubaca surat tersebut. Ternyata berasal dari istri Kang Surya. Ya Tuhan ! Aku merasa dibohongi dan dipermainkan oleh Kang Surya. Kekasihku itu ternyata sudah memiliki istri dan dua orang anak. Ketika aku bertemu Kang Surya, kekasihku itu tidak mengelak dari semua yang kutahu. Oh... betapa hancur hatiku.

Sejak itu aku tak mau keluar rumah. Kubunuh seluruh waktuku di rumah majikanku, hingga kusadari bahwa aku terlambat haid. Aku sempat minum jamu-jamu agar segera haid. Namun sampai dua bulan, bahkan empat bulan berikutnya ketika kontrak kerjaku habis, aku tetap saja tidak mendapatkan haid. Kubawa kepedihan jiwa-ragaku kembali ke tanah air setelah kontrak kerjaku usai. Aku tak ingin bekerja di luar negeri lagi. Dan, kusadari bahwa aku benar-benar hamil. Tetapi semuanya sudah terlambat. Tak ada lagi kesempatan untuk menggugurkan kandunganku karena janinku sudah telanjur besar. Pedih, sedih, malu dan segala rasa berbaur dalam dada. Namun, aku tak mampu berkata-kata sekedar membela diri. Dan, kubiarkan bayiku lahir tanpa kutahu siapa ayahnya. Bayiku laki-laki dan wajahnya mewarisi wajahku. Duh Gusti Allah, berikanlah kekuatan pada diriku ini. (Seperti dikisahkan oleh Paningsih pada Roy Pujianto)R.26

Sumber : Majalah Fakta No. 562

Saturday, May 7, 2011

Kerikil-kerikil Tajam

Saat aku diam dan tak pernah mengeluh, aku diperkosanya dalam tekanan batin hingga aku hamil.

Hari itu adalah sebuah permulaan. Sekitar pertengahan 2008, saat aku bertandang ke rumah salah seorang teman tetangga desa, perhatianku tiba-tiba tertuju pada scsok perempuan berparas anggun dan berpenampilan modern. Ia memperkenalan diri sebagai Nisha, kakak perempuan temanku tadi. Meski sejak kecil kami berteman dan sering berkunjung ke rumahnya, baru kali ini aku melihatnya. Hmmm, rupanya kakak temanku ini baru saja menghabiskan masa kontraknya sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Malaysia. Aku pun sempat berandai-andai, jika pengakuan sebagai kakak itu diperjelas adiknya, mungkin aku tidak akan percaya.

Bila melihat raut wajahnya, Nisha terlihat sangat muda dan trendy, mungkin lebih pantas menjadi adikku. Meski usia kami terpaut dua tahunan. Aku lahir pada tahun 1976 sedangkan Nisha pada 1974. Sejak saat itu, kekagumanku pada Nisha diam-diam muncul. Aku kagum atas kesuksesan Nisha sebagai seorang wanita, ia aku anggap sudah mapan dan berkecukupan. Sedangan aku, wanita yang tinggal di rumah gubuk dan lantainya pun hanya sebatas tanah. Apalagi untuk sebuah kata mapan, itu masih sebatas mimpi.

Untuk bisa seperti Nisha, aku rutin berkunjung ke rumahnya. Yang tertanam di hati hanyalah kecemburuan. Cemburu atas ketidakmampuanku bekerja seperti Nisha. Bagaimana aku tidak cemburu, suami yang kunikahi dan kupuja tak ubahnya seorang anak kecil. Setiap kali aku berupaya untuk menyadarkannya agar bekerja, Mas Rianto selalu marah dan jengkel. Padahal, kebutuhan untuk membeli beras dan tetek-bengeknya masih aku harapkan, terlebih Afriz, anakku semata wayang, masih memerlukan biaya lebih. Untuk bisa mencukupi itu semua, Mas Rianto selalu berhutang dari satu orang ke orang lainnya. Aku yang diperistrinya merasa malu dan ingin sekali merubah nasib keluarga ini agar menjadi lebih baik. Ibarat cacing kepanasan, aku pun berusaha mengungkapkan keinginanku untuk bekerja sebagai TKW kepada Mas Rianto. Aku berharap jika niatanku ini disetujui suami, maka semua hutang-hutangnya akan kulunasi dan mencoba mengumpulkan uang untuk modal usaha dan membangun rumah.

"Tidak boleh, pokoknya tidak boleh!" jawaban Mas Rianto yang keras jauh dari harapanku. Aku pikir, jika ia setuju, aku bisa memulai awal hidup baru. Sebab, tanpa persetujuan suami, terus terang aku tidak bisa berangkat ke luar negeri. Keinginan hati ini tak hanya sekali - dua kali kuungkapkan ke Mas Rianto. Tapi penolakanlah yang aku dapat. Akhirnya di penghujung tahun 2008, hanya bermodal baju yang kukenakan, kutinggalkan Afriz, Mas Rianto dan ibuku. Itu kulakukan setelah beberapa bulan berpikir matang untuk bekerja di luar negeri. Aku akui, jalan yang kutempuh ini salah.Tapi apa boleh buat, jika tidak begini aku tidak mungkin bisa berangkat mencari nafkah ke negeri seberang.

Saat keluar rumah tanpa sepengetahuan mereka, aku langsung dijemput Pak Heri, seorang sponsor, yang sejak tadi menungguku di pertigaan Jalan Raya Janti. Dari Pak Heri-lah, aku diperkenalkan dengan Bu Lastri, pemilik PJTKI di Kota Jogjakarta. Tapi sebelumnya, aku berjanji pada diri sendiri hanya akan bekerja di luar negeri selama dua tahun alias satu kali masa kontrak saja. Jelasnya, aku bekerja ke negeri orang hanya untuk menambah modal guna menopang rumah tanggaku kelak. Kata Pak Heri, karena tidak mempunyai surat ijin dari suami aku tidak bisa berangkat ke luar negeri. Melihat ketekatanku untuk bisa berangkat, Pak Heri akhirnya memberikan solusi dengan membuatkan surat ijin palsu plus tanda tangan suamiku. Saat itu, Pak Heri sempat berpesan untuk tidak memberitahukan perihal surat ijin suami palsu itu kepada siapa-siapa. Terus terang, karena aku membutuhkan sekali, aku pun mengiyakan saja permintaan Pak Heri tanpa melihat dampak yang akan ditimbulkan nanti. Setelah urusan surat beres, dengan melalui jalan darat aku langsung dibawanya ke penampungan yang terletak di Kota Medan.

Selama di penampungan yang kupikirkan adalah nasib anakku di tangan suamiku. Entah, apa yang ada di benak anakku saat itu, apakah sama dengan yang kurasakan. Selama di penampungan aku selalu menangis jika teringat ucapan Afriz,”Bu... kapan Afriz punya sepatu dan tas baru ....?” Duh Gusti, aku selalu tak tahan, bahkan ingin sekali mengurungkan niatku dan bergegas pulang ke rumah sambil memeluk Afriz. Tapi, apa daya, jika pikiran ini teringat Mas Rianto, niatan untuk pulang selalu pudar. Toh, semua ini kulakukan untuk suami dan anakku. Nantinya mereka juga akan menikmati hasil dari jerih-payahku kelak. Selama di penampungan, untuk urusan makan dan minum jangan ditanya. Aku mendapatkannya secara gratis. Tapi untuk urusan mandi, shampoo dan sikat gigi harus kubeli sendiri. Padahal selama di penampungan aku tidak punya uang sepeser pun untuk membelinya. Untung, temanku sepenampungan memberi perlengkapan mandi secara cuma-cuma kepadaku.

Nasib yang kualami saat itu tak jauh beda dengan 117 calon TKW yang sama-sama mengharapkan perubahan hidup yang "layak". Setelah lima bulan hidup di penampungan tanpa dibekali keahlian yang bisa kuterapkan ketika panggilan kerja nantinya kudapat, lima bulan itu kuisi dengan memasak dan memasak. Tapi penantian itu tak selamanya berjalan lama, pertengahan Mei 2009, aku pun mendapat majikan di Malaysia. Kabar yang diucapkan Pak Heri waktu itu kusambut dengan suka-cita, akhirnya aku "mendapatkan". Lekas kukemasi baju dan perlengkapan mandi sambil mendengarkan pesan dari Pak Heri untuk tidak membuat masalah selama bekerja di Malaysia. Selain berpesan, Pak Heri juga memberi uang saku sebesar Rp 200 ribu.

Singkatnya, selama di bandara, dengan wajah ndesoku kutatapi satu per satu pesawat terbang yang dulunya hanya kulihat ketika aku masih kanak-kanak. Sungguh, aku seneng banget bahwa aku anak asal Kartasura juga bisa naik pesawat terbang. Kendati hati ini senang, selama menapaki anak tangga pesawat, aku berucap, saat inilah aku akan berpisah dengan semua orang yang aku cintai ... Tuhan, berilah kekuatan kepada hambaMu ini dengan anakku Afrizal.

Setibanya di Malaysia, aku pun diberitahu jika nantinya akan bekerja di rumah Tan Tjeng Bok, seorang duda beranak tiga yang tinggal di daerah Penang dengan masa kontrak selama dua tahun. Akhirnya, kujalani pekerjaan sebagai PRT itu dengan suka-cita. Namun, selang lima bulan menjalani masa kontrak, ketidaknyamanan dan ketidakbetahan mulai kualami. Bisa dibayangkan, untuk makan saja aku harus memulainya pada jam 14.00 WIB. Jadi, aku dijatah satu hari makan dua kali saja. Makan yang kudapatkan itu pun terkadang sisa dari anak-anak majikan. Bahkan jika rasa lapar mulai kurasakan, tak jarang jatah makan anjing milik majikan aku makan. Triknya, jatah dua kaleng nasi makanan anjing mesti aku lebihi tiga sampai empat kaleng. Tapi bukan masalah itu yang aku takutkan. Ketakutanku justru akan ulah Tan Tjeng Bok yang berani mencolak-colek diriku. Jujur, untuk menolaknya aku takut sekali. Dan ketakutanku akan ulah majikan itu tak bisa kuadukan ke siapa-siapa. Kepada siapa aku harus mengadu? Aku ini orang yang jauh dari rumah. Aku takut jika nantinya aku dibunuh majikan jika kutolak ulahnya. Saat aku diam dan tak pernah mengeluh, aku diperkosanya dalam tekanan batin hingga aku hamil. Kehamilanku itu nyatanya tak pernah kuutarakan kepadanya atau kepada anak-anaknya. KehamiIan itu kurahasiakan rapat-rapat dengan samaran baju yang aku kenakan. Baju ekstra besar, aku anggap sudah cukup untuk menutupi perutku yang mulal membuncit.

Lelah dengan keadaan itu, pagi hari, seperti biasa kumulai aktivitas dengan menyirami tanaman di depan rumah. Saat itulah, aku melihat seorang agen datang bersama seorang TKW yang seumuran denganku. Aku sempat berpikir, apakah majikan memerlukan pembantu rumah tangga lagi? Belum sempat pertanyaan itu terjawab, agen memberitahukan kepadaku jika aku ini bermasalah dan harus pulang ke tanah air. Ucapan sang agen aku anggap sebagai malaikat maut. Padahal, aku sudah merencanakan akan melahirkan anakku di Malaysia. Jika terlahir, anak ini bisa aku berikan kepada seseorang atau kutitipkan ke rumah sakit. Yang terpenting, aku masih bisa merencanakan untuk tidak melahirkan di kampung halaman. Namun ucapan agen sontak membuyarkan rencana itu. Dengan hati hancur clan segudang kemelut di otak ini, aku terpaksa pulang ke tanah air dengan kandungan berusia enam bulan.

Dugaan bahwa suami akan marah besar terbukti juga. Ketika pulang, bukan simpati dan ucapan terima kasih yang aku dapat. Cacian, hinaan dan sumpah-serapah justru yang kudapat dari suami sendiri. Ya Tuhan, padahal semua ini kulakukan hanya untuk menutupi hutang-hutang suamiku. Mau tidak mau, perjalanan enam bulan hingga pasca melahirkan, kulakukan seorang diri. Dan pada usia kehamilan tujuh bulan, dengan terpaksa aku membangun sebuah rumah dengan uang yang aku dapat selama di Malaysia. Dua belas juta rupiah, itulah uang yang aku hasilkan. Tapi, uang itu sekarang tinggal enam juta rupiah. Karena sisanya aku gunakan untuk membangun rumah dekat dengan orang tuaku. Kendati bentuk rumah tersebut sederhana, tak apalah, toh aku bisa menikmati nantinya. Namun anehnya, rumah yang kubangun dari jerih-payahku sendiri tak bisa kunikmati. Mas Rianto melarangku untuk masuk ke dalam rumah. Alasan ia mengultimatum diriku untuk tidak masuk ke dalam rumah karena merasa jijik dan malas untuk mengurus diriku lagi. Jadi, rumah yang kubangun dari uangku sendiri, dikuasai olehnya. Bahkan ketika bayi yang kuberi nama Agung ini lahir, Mas Rianto mengancam akan membunuhnya. Sekarang bayi ini sudah berusia dua bulan. Dan hingga sekarang ini, ancaman untuk melenyapkan Agung masih saja terngiang di telingaku. Aku sempat mendapat saran untuk bercerai. Namun suami tidak mau menceraikan diriku. Padahal, aku sudah tersiksa lahir dan batin, Mas Rianto tetap dengan pendiriannya.

Untuk menutupi semua itu, hari demi hari aku jalani dengan berjualan sayur-mayur bersama ibu. Lumayan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Bahkan ibu seringkali melarangku untuk bercerai. Alasannya, isu yang didengar ibu, jika sang istri mengadukan cerai kepada suami, maka istri harus membayar denda sebesar dua puluh juta rupiah kepada suami. Karena alasan itu pula, tak jarang ibu turut merasakan yang aku rasakan. Begitulah hari-hari yang aku jalani. Sebagai seorang ibu dan perempuan, aku bertanggung jawab penuh untuk mencari nafkah bagi anak-anakku karena suami yang kuandalkan sudah lepas tangan untuk mengurusinya.

Seiring dengan bertambahnya usia Agung, aku menyadari besarnya kebutuhan untuk mengantarkannya kelak menjadi manusia yang berpendidikan. Aku ingin, kelak, Agung bisa mengenyam pendidikan setinggi-tingginya. Namun, hal itu rasanya mustahil diwujudkan jika melihat taraf kehidupan rumah tangga kami saat ini. Beberapa kali aku mendiskusilkan hal itu dengan ibu. Penghasilan menjual sayur-mayur seperti aku terlalu kecil untuk mewujudkan cita-cita tinggi. Ya, ibarat pungguk merindukan bulan. Aku sempat berpikir untuk memiliki sumber penghasilan lain, di samping berjualan. Soalnya, dengan maraknya penjual sayur keliling, praktis aku hanya bisa memetik keuntungan tak begitu banyak. Biasanya aku bisa merasakan keuntungan empat bulan sekali. Itu pun belum tentu selalu menyisakan untung.

Ada beberapa alternatif yang memungkinkan untuk aku jalani, tapi aku tak berani mewujudkannya. Yakni kembali menjadi TKW lagi. Keadaan ini semakin mendesak seiring meningkatnya kebutuhan Agung dan Afrizal, yang sebentar lagi kebutuhan pendidikannya mulai naik. Sebab, di atas kertas jika menghitung rupiah yang nantinya bisa aku hasilkan dari menjadi TKI, aku berharap, bisa menjadi investasi jangka panjang yang hasilnya bisa untuk mewujudkan cita-cita anakku nantinya. (Seperti dituturkan Roesmini kepada Roy Pujianto)R.26

Sumber : Majalah Fakta No. 561

Tuesday, May 3, 2011

Dijadikan Pemuas Nafsu

Di depan orangtuaku, aku bersikap bak gadis kecil yang suci, padahal di belakang mereka, aku tak ubahnya penganut gaya hidup free sex.

Yunara, namaku. Aku terlahir sebagai anak kelima dari delapan bersaudara. Ayahku petani sederhana, namun mampu menghidupi anak-anaknya dengan baik. Bersama ibu, ia juga menanamkan pentingnya pondasi agama di samping pendidikan umum. Namun, aku tak percaya, betapa rapuhnya imanku hingga sanggup melanggar larangan agama.

Setamat SMP, aku meneruskan ke SMA. Tiga tahun menempuh pendidikan akhirnya aku lulus juga. Betapa senangnya orangtuaku. Apalagi setelah lulus sekolah, aku bisa langsung bekerja untuk membantu kedua orangtuaku membiayai pendidikan adik-adikku. Dua bulan setelah lulus, datang peluang kerja menjadi SPG lewat seorang teman. Setelah ditraining produk knowledge dan pengetahuanku tentang produk yang akan kupromosikan bertambah, seminggu kemudian, aku diantar ke sebuah mall oleh pihak agency dan diperkenalkan pada store manager. Ternyata manajer tersebut masih muda, namanya Yanuar.

Saat itu aku langsung diterima bekerja. Walau baru sehari ketemu tapi herannya sejak itu hampir setiap malam manajer tersebut meneleponku. Setiap kali kutanya apa keperluannya, dia tak pernah menjawab dengan pasti. Seminggu kemudian Yanuar mengajakku kencan. Sejujumya, selain dia masih muda juga berwajah tampan. Sejak itu setiap minggu kami pergi berdua untuk makan-makan atau nonton film. Dia juga kerap membelikanku baju-baju dan tas bagus, bahkan perhiasan emas. Bagiku yang lugu dan masih bau kencur dalam cinta, perhatiannya itu sungguh membuatku mabuk kepayang. Apalagi aku berasal dari keluarga sederhana, sedangkan Yanuar berekonomi mapan dan dari keluarga terhormat. Dia benar-benar tipe pria ideal untuk menjadi pasangan hidupku.

Kami pun semakin intim, hingga akhimya aku rela menyerahkan keperawananku padanya. Sama sekali tidak ada penyesalan karena aku sangat mencintainya dan yakin ia pasti akan menikahiku. Kami pun semakin sering melakukan hubungan terlarang itu. Mata dan hatiku seolah buta, tak peduli bahwa yang kami lakukan itu suatu dosa besar. Yang kutahu, aku sangat mencintai Yanuar dengan segala kelebihannya. Dia adalah anugerah bagiku. Namun, tak bisa dipungkiri, aku telah mengambil jalan yang salah. Aku merasa menjadi orang paling munafik di dunia. Di depan orangtuaku, aku bersikap bak gadis kecil yang suci, padahal di belakang mereka, aku tak ubahnya penganut gaya hidup free sex.

Ayah-ibuku telah mengenal Yanuar dan menyetujui hubungan kasih kami. Toh mereka melihat keluarga Yanuar agamis dan sikapnya selalu sopan. Tentu orangtuaku tak pernah menyangka bila Yanuar dan aku sudah melangkah begitu jauh. Ya Tuhan! Suatu hal yang selalu kutakutkan adalah bagaimana bila hubungan terlarang kami membuahkan hasil? Dan, ternyata, apa yang kukhawatirkan itu pun terjadi. Suatu hari aku menyadari telah terlambat datang bulan. Aku segera melakukan pemeriksaan. Hasilnya, positif aku hamil! Ketika kukatakan hal itu pada Yanuar, dia malah memberiku bermacam-macam obat untuk meluruhkan janin dalam kandunganku. Mulai dari obat kimia, jamu-jamuan hingga obat Cina. Meskipun rasanya pahit dan baunya tak sedap, aku harus menelan semua itu untuk menyelamatkan wajah kami dari aib yang sangat memalukan itu.

Tapi, janinku tak kunjung keluar. Yanuar kian cemas. Ia menghubungi temannya seorang dokter kandungan untuk mengaborsi janinku. Aku pun tak punya pilihan lain. Hatiku sedih dan kecewa karena Yanuar memilih membunuh anak kami dibandingkan bertanggung jawab. Dia berusaha meyakinkanku bahwa suatu saat kami pasti menikah. ”Tapi, bukan sekarang. Waktunya belum tepat,” katanya. Aku percaya saja terhadap ucapannya itu.

Sebulan telah berlalu, belum hilang rasa sakit akibat kuret yang kulakukan, Yanuar kembali mengajakku melakukan aktivitas seksual. Herannya, aku pun tak kuasa menolaknya. Sepertinya kami tidak ingat kepanikan yang kami alami saat aku hamil dulu. Akibatnya, enarn bulan kemudian, aku hamil lagi. Sebenamya aku selalu menelan pil KB, tapi mungkin sedang sial, suatu hari aku lupa meminumnya. Lagi-lagi, janinku tak bisa dikeluarkan dengan obat-obatan biasa sehingga aku kembali diaborsi. Yanuar begitu pandai bersilat lidah. Katanya, dia sangat mencintaiku, namun aku harus bersabar. Dia akan menikahiku setelah memiliki rumah sendiri. Lagi-lagi aku harus ikhlas kehilangan anakku kembali.

Ketika keluarga Yanuar datang ke Yogyakarta, aku begitu bahagia bisa berkenalan dengan mereka. Apalagi mereka kemudian mengunjungi keluargaku di desa. Meskipun orang berpunya, mereka sama sekali tidak tinggi hati. Mereka juga tidak menyepelekan kami yang notabene keluarga sederhana. Aku semakin yakin bisa menjadi istri dari pria yang sangat kucintai ini.

Tak lama setelah keluarga Yanuar mengunjungi kami, Yanuar bisa membeli rumah dari hasil tabungannya selama ini. Rumah itu lumayan bagus, terletak di perumahan elit. Hatiku semakin berbunga-bunga. Aku yakin pernikahan kami tinggal menunggu waktu. Tapi, yang membuatku sedikit kesal, sejak Yanuar tinggal di rumah barunya, aku tidak pernah diperbolehkan berkunjung ke sana. Alasannya, aku tidak boleh memasuki rumah itu sebelum kami menikah. Jika ingin bercinta, kami melakukannya di hotel. Akibat perbuatan kami itu , akhirnya aku hamil lagi untuk ketiga kalinya. Yanuar kembali memberiku obat, tapi kali ini aku bertekad mempertahankan janinku. Tak satu pun obat yang diberikannya kuminum. Aku ingin dia bertanggung jawab dan menikahiku. Aku tidak mau lagi membunuh darah dagingku sendiri.

Ketika Yanuar mengetahui hal itu dia marah besar dan menjauhiku. Setiap kali kutelepon, tidak pernah diangkat. SMS-ku juga tak pernah dijawab. Bila kudatangi rumahnya, dia tak pernah ada. Pernah dia menjawab teleponku, tapi seperti biasa, di memintaku menggugurkan kandunganku. Aku tak mau lagi menuruti keinginan bejatnya itu. Aku mulai sadar bahwa dia bukanlah lelaki baik­-baik. Setiap habis sholat, aku memohon ampunan pada Allah SWT atas segala dosa yang pernah kulakukan. Aku memohon petunjuk-Nya agar dapat keluar dari permasalahan ini.

Sampai kandunganku berusia empat bulan, tak seorang pun keluargaku yang tahu perihal kehamilanku. Aku memang berusaha menutupinya. Suatu hari aku datang ke rumah Yanuar untuk membicarakan masalah kami. Rumahnya tertutup rapat. Tiga jam lamanya aku menunggu Yanuar pulang. Akhirnya ia datang dengan sedan barunya. Mungkin karena melihatku berdiri menunggunya dengan perut besar, dia iba dan bersedia menemuiku. Dia mengajakku masuk ke mobilnya.Ternyata di jok belakang ada seorang wanita cantik. Yanuar memperkenalkanku sebagai pacar adiknya. Mendengar itu, pikiranku langsung kalut. Aku menduga wanita cantik bernama Minati itu adalah pacar barunya. Langsung aku menangis dan memakinya. Tapi, Yanuar diam saja. Wanita itu pun tak berkata apa-apa.

Seminggu kemudian aku kembali ke rumahnya untuk membicarakan kelanjutan hubungan kami. Tapi, malah kudapati Yanuar tengah bermesraan dengan Minati di kamarnya.Ternyata selama ini mereka sudah tinggal serumah! Karena panik, aku menelepon keluarga Yanuar dan menceritakan keadaanku pada mereka. Namun, mereka malah menyalahkanku yang dinilai tidak bisa menjaga kehormatan. Yanuar yang tahu aku menghubungi keluarganya, marah besar. Ia memintaku menelepon kembali keluarganya dan menarik semua ucapanku. Terpaksa kuturuti keinginannya karena aku berharap dia mau menikahiku atas kesadarannya sendiri.

Sejak kejadian itu, aku tidak enak untuk makan dan tidur, padahal janin di rahimku butuh asupan gizi yang cukup. Sementara Yanuar terus memintaku mengaborsi janin kami. Menginjak enam bulan usia kandunganku, ibu dan kakakku mulai curiga melihat perubahan tubuhku. Meskipun aku sudah berusaha menutupi perutku dengan kemeja longgar. Ibu dan kakakku menangis mendengar pengakuanku. Ibu menyuruhku segera meminta pertanggungjawaban Yanuar.

Untuk menenangkan mereka, aku pamit bekerja di sebuah restoran dan tinggal di mess, padahal sebenarnya aku tinggal di rumah kost. Aku juga menelepon Yanuar dan menceritakan apa yang terjadi. Malam itu juga Yanuar menjemputku dan mengajakku tinggal di rumahnya. Tapi, dia tetap tidak berniat menikahiku. Setiap hari aku harus rela melihat wanita bernama Minati itu datang dan bercinta dengannya di kamar bawah. Mereka tega melakukan hal itu, sementara aku tak bisa berbuat apa-apa karena kehamilanku yang semakin besar. Tak jarang aku mengamuk dan mencaci-maki mereka untuk melampiaskan kegundahan hatiku. Betapa terkejutnya aku ketika Minati bercerita bahwa dia sudah empat tahun berpacaran dengan Yanuar. Selama itu pula sudah berkali-kali dia diaborsi. Ya Tuhan, ternyata kami berdua adalah korban dari pria bernama Yanuar. Yang lebih parah lagi, menurut Minati, Yanuar pun sering berkencan dengan pelacur dan tante-tante girang. Jelaslah bagiku kini bahwa Yanuar adalah seorang pria yang selalu haus seks.

Singkat cerita, bayiku lahir dengan selamat. Seminggu setelah dirawat di rumah sakit, aku kembali ke rumah Yanuar. Meskipun sayang pada anaknya, Yanuar tetap tidak mau menikahiku. Setelah bayiku berusia tiga bulan, Yanuar mengontrakkanku sebuah rumah. Dia tidak ingin tetangga kiri-kanan tahu kalau dia telah ”menyimpan” seorang wanita dan bayi di rumahnya. Selama ini aku memang dikurung di kamar atas, bahkan tukang cuci yang bekerja di rumah Yanuar pun tak tahu akan keberadaanku. Entah kenapa, aku mau saja menuruti keinginannya.

Aku dan bayiku kemudian tinggal di rumah kontrakan. Memang, Yanuar memenuhi semua kebutuhan kami. Tapi, setiap kali aku bertanya kapan dia menikahiku, Yanuar marah dan memintaku menunggu hingga dia berhasil mengumpulkan modal untuk berumah tangga. Sementara itu ia masih terus ke diskotik atau berkencan dengan Minati. Karena sakit hati, aku pernah menelepon orangtua Minati dan menceritakan kalau aku adalah kekasih Yanuar yang hamil tanpa dinikahinya. Orangtua Minati marah besar dan melarang Yanuar berhubungan dengan anak mereka. Tapi, yang membuatku heran, mereka tetap saja berhubungan hingga sekarang.

Belakangan, abangku akhirnya juga tahu apa yang terjadi. Dia begitu murka dan mendatangi Yanuar di rumahnya. Abangku memukuli Yanuar dan memaksanya untuk menikahiku. Berkali-kali abangku menelepon keluarga Yanuar, tapi mereka tidak pernah mempercayai kelakuan bejad anaknya. Entah bagaimana cara Yanuar meyakinkan keluarganya hingga mereka begitu mempercayainya.

Sekarang bayiku sudah berusia sepuluh bulan. Apa yang harus kulakukan agar dia mempunyai status yang jelas? Aku begitu membenci Yanuar, tapi aku juga tak bisa berhenti mencintainya. Aku sangat berharap bisa menikah dengannya, bahkan dimadu dengan Minati pun aku rela. Kini aku hanya berharap keajaiban menghampiriku. (Seperti dikisahkan Yunara pada Roy Pujianto)R.26

Sumber : Majalah Fakta No. 560

Thursday, April 28, 2011

Abangku Kekasihku


Bak sepasang kekasih yang dilanda asmara, kami terhanyut hingga akhirnya hilang kendali. Malam itu kegadisanku terenggut oleh abang kandungku sendiri.

Aku tak bisa memungkiri daya tarik yang dimiliki abang kandungku. Meski aku tahu dia terlarang untukku toh aku tak kuasa berpaling darinya. Benar kata orang, cinta itu buta. Begitu besar cinta yang kurasakan hingga aku rela menyerahkan kesucianku padanya. Namaku Sanny, usiaku 36 tahun. Aku mempunyai seorang kakak bernama Sonny, usianya dua tahun lebih tua dariku. Kami adalah anak-anak korban perceraian. Saat usiaku 6 tahun, ibu cerai dengan ayah. Aku dan Mas Sonny ikut nenek dan kakek dari pihak ibu di Kota Yogyakarta. Sementara ibuku bekerja di luar kota untuk membiayai aku dan Mas Sonny. Setelah bercerai dari ibu, ayah kembali ke kota asalnya di Purwokerto dan menikah lagi. Kuakui, ayahku bukan ayah yang baik. Beliau tidak pernah memberi kabar apalagi mengunjungi kami. Aku pernah ingin mencari ayah, tapi seluruh keluarga melarang. Kakek sangat marah. Katanya, kalau ayahku masih waras tentulah dia yang membiayai aku dan Mas Sonny. Sejak hari itu aku tidak berani lagi mengungkit-ungkit.

Dua tahun menjanda, akhirnya ibu menikah lagi dengan seorang duda tanpa anak. Ibu pun mengikuti suami barunya ke Kota Surabaya. Sejak kepergian ibu ke Surabaya, aku dan Mas Sonny jarang bertemu ibu. Kudengar ayah tiriku itu keberatan bila aku dan Mas Sonny ikut ibu. Perkawinan kedua ibu tidak menghasilkan keturunan. Tahun pun berganti, aku tumbuh menjadi gadis remaja. Kata orang, wajahku cukup cantik. Hobi Mas Sonny adalah melukis. Dan, obyek lukisannya selalu wajahku. Mas Sonny sangat sayang padaku, dia selalu memanjakan aku. Mungkin karena kami dibesarkan kakek berdua saja, kami pun menjadi sangat dekat. Kami tidak memiliki saudara, baik kandung maupun sepupu, karena ibu adalah anak tunggal.

Saat menduduki bangku kelas dua SMP, aku mulai tertarik pada lawan jenis. Anehnya, rasa tertarik itu justru tertuju pada Mas Sonny, bukan pada teman-teman pria di sekolahku. Dan, sepertinya Mas Sonny juga merasakan hal yang sama. Setiap kali aku melihat tubuh atletis Mas Sonny, hatiku berdebar-debar. Padahal waktu itu banyak laki-laki yang mencoba mendekatiku. Bahkan seorang teman sekelasku pernah datang ke rumah di malam minggu. Apa yang terjadi? Mas Sonny marah besar. Dia melarangku pacaran dengan berbagai alasan. Sebenarnya aku tidak pernah tertarik pada laki-laki lain kecuali Mas Sonny. Meski demikian, kami tahu perasaan itu tidak wajar sehingga kucoba menepisnya. Ternyata rasa cinta itu lebih kuat dari akal sehat kami.

Tanpa ada yang bisa mencegah, kami pun bersikap layaknya sepasang kekasih. Setiap kali ada kesempatan, kami selalu bercumbu dan tak seorang pun yang mengetahui hubungan terlarang ini. Hubungan rahasia itu berlangsung lebih dari dua tahun. Sampai akhirnya di suatu malam yang dingin, saat seluruh penghuni rumah sedang bertandang ke rumah saudara yang sedang menggelar pesta pernikahan, kami pun memanfaatkannya untuk bermesraan. Bak sepasang kekasih yang dilanda asmara, kami terhanyut hingga akhirnya hilang kendali. Malam itu kegadisanku terenggut oleh abang kandungku sendiri. Aku dan Mas Sonny sadar bahwa perbuatan itu tidak baik. Semalaman aku menangisi kekhilafan itu. Mas Sonny pun merasa sangat bersalah. Dia memukulkan tangannya ke dinding berkali-kali hingga jari-jarinya berlumuran darah. Bila tidak kuhentikan pasti cidera di tangannya semakin parah. Kami pun berjanji untuk menutup rapat kejadian ini dan tidak akan mengulanginya.

Aku dan Mas Sonny akhirnya pindah ke Surabaya mengikuti ibu dan ayah tiriku. Semula aku keberatan, karena dulu ayah tiriku tidak menginginkan kami ikut ibu. Tapi, kini ayah tiriku telah berubah. Mungkin karena tidak memperoleh keturunan, ia jadi sayang padaku dan Mas Sonny. Di Surabaya ini aku berkenalan dengan Roy. Roy adalah karyawan di sebuah perusahaan yang cukup besar di Surabaya. Usia kami terpaut empat tahun. Sayangnya, hubungan kami tidak direstui karena kami beda agama. Tiba-tiba saja Roy dipindah ke Jakarta. Akhirnya hubungan kami putus dengan sendirinya.

Ketika aku duduk di bangku kelas dua SMA, ada murid baru yang bernama Reza. Ternyata Reza adalah adik kandung Roy, mantan pacarku. Sifat Reza sangat beda dengan Roy. Reza sedikit urakan, hobinya balapan sepeda motor. Aku dan teman-teman sering melihat Reza balapan. Lama­kelamaan aku dan Reza pun pacaran. Aku dan Reza melakukan hubungan bak suami-istri hingga akhirnya aku hamil, sementara kelulusan kami tinggal satu bulan lagi. Berbagai cara kulakukan untuk menutupi perutku yang mulai membuncit hingga tidak seorang pun tahu kehamilanku kecuali Reza. Untunglah akhirnya aku bisa lulus tanpa masalah. Sayangnya Reza tidak mau bertanggung jawab. Berkali-kali aku memintanya untuk menikahiku, tapi selalu ditolak Reza dengan bermacam-macam alasan. Malah Reza menyuruhku menggugurkan kandunganku. Aku dibawanya ke suatu tempat dan disuruh meminum ramuan obat untuk menggugurkan janinku. Ternyata fisikku tak kuat hingga akhirnya aku dilarikan ke rumah sakit. Kejadian itu membuat orangtuaku tahu tentang kehamilanku. Untunglah, kata dokter, kandunganku baik-baik saja. Orangtuaku marah besar, apalagi Mas Sonny. Mas Sonny langsung mendatangi Reza dan memintanya untuk bertanggung jawab. Reza pun bersedia bertanggung jawab.

Masalahnya, kami berbeda keyakinan agama. Bagiku itu menjadi penghalang besar. Kebingunganku bertambah karena ibu mengusirku dari rumah karena malu menanggung aib. Aku disuruh tinggal di rumah Reza. Selama satu minggu tinggal di rumah Reza, aku benar-benar berada dalam kegundahan. Akhirnya aku pulang ke rumah orangtuaku dan mengadu pada Mas Sonny. Untuk memecahkan masalah, Mas Sonny membawaku ke rumah nenek di Yogya. Di kota ini aku dinikahkan dengan pria beristri bernama Rahmat dan menjadi istri ketiga. Usia Rahmat sudah separo baya dan aku menikah tanpa cinta. Tapi hanya itu satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan, apalagi kandunganku sudah semakin membesar.

Beberapa bulan kemudian anakku lahir dan kuberi nama Ayu Sekarini. Syukurlah, Ayu lahir dalam keadaan normal, meski aku sempat meminum ramuan untuk meluruhkan janin. Tapi aku tidak tahan pada suamiku karena ternyata dia memiliki kelainan seks. Saat Ayu berusia delapan bulan, aku bercerai dari Rahmat dan kembali ke rumah ibuku di Surabaya.

Saat usia Ayu genap satu tahun, aku memutuskan untuk kuliah sambil bekerja di Kota Malang. Sementara itu anakku diasuh oleh ibu, ayah tiriku dan Mas Sonny. Karena usiaku masih muda dan tubuhku masih langsing, tak seorang pun teman di kampus ataupun tempat kerja tahu bahwa aku sudah memiliki seorang anak.

Semasa kuliah inilah aku tertarik pada dosenku, Rizal. Dia seorang duda yang ditinggal mati oleh istri dan kedua anaknya dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Dua tahun kami berpacaran sebelum akhirnya kami menikah. Suamiku sangat baik dan religius. Aku banyak dibimbing olehnya. Tapi sayang, meski usia perkawinan kami sudah menginjak sepuluh tahun, kami belum juga dikaruniai anak. Sudah empat kali aku mengalami keguguran. Berbagai pengobatan kucoba, namun tidak membuahkan hasil. Aku kasihan pada suamiku yang begitu mengharapkan anak. Di malam-malam yang sepi aku sering berpikir, mungkinkah ini hukuman dari Tuhan, karena aku pernah mencoba menggugurkan kandunganku? Ya Tuhan, bila memang demikian, arnpunilah aku.

Kini Ayu telah menjadi gadis remaja, wajahnya sangat mirip denganku. Ayu mulai menanyakan jati dirinya padaku. Rupanya dia mendengar bisik-bisik dari tetangga tentang dirinya. Ayu mengatakan bahwa ia ingin kepastian tentang ayah kandungnya. Karena kupikir Ayu sudah cukup dewasa, akhirnya kuceritakan semuanya. Aku juga minta maaf, karena dia terlahir akibat dosa yang diperbuat orangtuanya. Ayu begitu terpukul mendengar kenyataan yang kubeberkan padanya. Ternyata dia belum siap menghadapi kenyataan dirinya yang merupakan anak haram. Beberapa bulan lamanya dia tidak menyapa aku. Aku sadar sepenuhnya dan aku pantas menerima perlakuan semacam itu. Tapi itu lebih baik daripada harus membohongi seorang anak yang sudah bisa berpikir kritis seperti Ayu. Untunglah kemarahan Ayu tidak berlarut-larut. Setelah mendapat masukan dari seluruh keluarga, terutama dari Mas Sonny, akhirnya ia memaafkanku.

Reza yang mengetahui bahwa anaknya kini telah tumbuh menjadi gadis remaja, memberanikan diri menemui Ayu. Karena Ayu sudah mengetahui Reza adalah ayah kandungnya, akhirnya mereka cepat akrab dan Ayu diterima dengan baik di keluarga besar Reza. Kalau dulu aku dibesarkan oleh kakek dan nenek serta Mas Sonny, kini Ayu pun berada di bawah asuhan orang-orang yang sama.

Meski usianya sudah 38 tahun, Mas Sonny belum juga berkeluarga. Pernah kucoba menjodohkannya dengan teman kerjaku, tapi Mas Sonny menolak. Aku juga melihat Mas Sonny terlalu memanjakan Ayu, apa pun keperluan anak itu selalu dipenuhi. Mas Sonny pula yang mengantarkan dan menjemput Ayu. Melihat kedekatan Mas Sonny dan Ayu, aku teringat kedekatanku dengan Mas Sonny dulu. Jujur kuakui, aku takut hal yang sama menimpa Ayu. Aku sering membujuk Ayu untuk ikut denganku ke Kota Malang, namun Ayu tidak bersedia. Karena trauma pada masa laluku, akhirnya dengan terus terang kukatakan pada Mas Sonny, bila sesuatu yang buruk terjadi pada Ayu, aku tidak pernah akan memaafkannya. Tapi Mas Sonny mengatakan bahwa aku tak perlu cemas karena dia tulus menyayangi Ayu sebagai keponakannya. Tapi sulit bagiku mempercayai ucapannya itu. Bagaimana tidak? Aku pernah terpikat pada pesona Mas Sonny, dan tidak mustahil Ayu pun merasakan hal yang sama. Apalagi Mas Sonny belum terlalu tua. Sebagai pria, dia adalah sosok yang menarik. Dan, bisa jadi, Mas Sonny jatuh hati pada Ayu yang begitu mirip denganku.

Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Haruskah aku berterus-terang pada Ayu tentang masa laluku bersama Mas Sonny agar dia berhati-hati?Tapi aku takut, bila hal itu kukatakan malah akan menambah kebencian Ayu padaku. Tapi mana mungkin aku membiarkan Ayu terjatuh ke jurang yang sama? (Seperti dituturkan Sanny kepada Roy Pujianto)R.26

Sumber : Majalah Fakta No. 559

Tuesday, April 26, 2011

Cinta di Balik Noda

Aku ditipu Irwan, yang ternyata sudah beranak dan beristri. Aku sempat dilabrak oleh istrinya. Bahkan, sempat pula dituduh merebut suami orang.  

Pesta sudah hampir. usai, tetapi hujan belum juga reda. Dingin pun serasa menusuk tulang. Padahal, sudah hampir tiga hari ini kesehatanku terganggu. Mestinya, dalam keadaan seperti ini, aku istirahat di rumah. Dokter pun kemarin sore juga menyarankan begitu kepadaku. Tetapi saran itu tak bisa aku lakukan. Aku telanjur menerima uang, dan itu artinya aku harus menyanyi di tempat ini. Untungnya, keluarga tuan rumah cukup baik kepadaku. Mereka penuh perhatian. Aku dipersilakan masuk ke sebuah ruangan, dan diajak ngobrol ngalor-ngidul sambil menunggu hujan reda. Beberapa di antara mereka sudah cukup mengenalku sebagai seorang penyanyi dangdut tersohor di Kota Yogya.

Sakit yang sedang aku derita, rupanya tak bisa aku sembunyikan dari beberapa kerabat dan tetangga tuan rumah itu. "Matamu tampak merah, dan wajahmu pucat," ujar beberapa orang di antara mereka kepadaku. "Sambil nunggu hujan reda, kamu tiduran saja dulu," celetuk salah seorang di antara mereka malah berusaha mencarikan tempat untukku dan mempersilakan aku untuk tiduran. Tetapi aku bergeming tak beranjak dari tempatku duduk-duduk bersama beberapa orang yang tersisa dalam pesta perkawinan itu. Mereka pun berusaha memaksaku. Aku hanya bilang terima kasih, dan meyakinkan mereka kalau aku tidak apa-apa. “Aku sehat-sehat saja. Cuma panas biasa, mungkin flu," kataku meyakinkan mereka. Kesibukan di tempat pesta, membuat mereka tak bisa terus menemaniku. Aku pun akhirnya sendirian. Lebih tepat ditinggal sendirian. Aku maklum, meski pesta telah kelar, bukan berarti tak ada kesibukan yang harus dikerjakan mereka. Aku maklum, dan aku pun mempersilakan mereka ketika mereka permisi kepadaku untuk suatu urusan.

Kesendirianku pun aku manfaatkan sebaik-baiknya. Kebetulan, besok ada ulangan. Aku manfaatkan kesendirianku untuk belajar. Membaca catatan-catatan pelajaran. Tetapi kondisi kesehatanku tak bisa diajak kompromi. Mata pelajaran yang besok hendak dijadikan ulangan itu, lewat begitu saja. Sama sekali tidak ada yang nyantol di otakku. Waktu telah hampir larut malam, ketika hujan reda. Tetapi aku tak bisa segera pulang, karena tiba-tiba aku pingsan. Aku tidak ingat apa-apa lagi. Aku baru sadar setelah berada di rumah sakit. Orang pertama yang kulihat adalah ibuku. Matanya tampak berkaca-kaca menatapku. “Aku di mana ?” tanyaku spontan pada ibuku. Jawaban ibulah yang membuatku tahu bahwa waktu itu aku sudah berada di rumah sakit. Kenangan itu tak pernah bisa aku lupakan. Mungkin, sampai kapan pun. Sebab, saat itulah untuk terakhir kalinya aku bertemu ibuku. Bertemu dengan wanita yang melahirkan aku, yang juga amat menyayangi dan mengasihiku. Sungguh aku tak pernah menyangka, bila ibu akan meninggalkan aku secepat itu. Ibu mengalami kecelakaan dalam perjalanannya ke apotik untuk membelikan obat buat kesembuhanku.

Aku tidak bisa mengetahui secara langsung kematian ibuku. Aku baru tahu kalau wanita yang amat kucintai itu meninggal dunia setelah tiga hari kematiannya. Keluarga rupanya sengaja merahasiakan kematian ibu dari aku, mengingat kesehatanku waktu itu. Karuan saja aku menangis sejadi-jadinya, meski awalnya tak percaya. Kematian ibu tentu merupakan pukulan tersendiri buatku. Aku benar-benar merasa amat kehilangan. Tetapi hidup terus berjalan. Aku akhirnya sadar bahwa aku tak boleh larut dalam kesedihanku. Aku tak boleh terus-terusan meratapi kepergiannya. Aku harus memikirkan masa depanku, juga masa depan adik-adikku. Aku tak boleh menyerah begitu saja dengan keadaan. Aku harus merubah keadaan. Aku harus semangat dan tak boleh putus asa. lbulah yang mengajari hal ini kepadaku. Juga kepada kedua adikku, yang baru kelas empat dan kelas enam SD. Kami semua, meski tanpa sosok ayah, tak boleh cengeng. Ya, sejak ayah tergoda wanita lain, hingga akhirnya bercerai, ibu memilih tetap menjanda sambil membesarkan ketiga anak-anaknya.

Waktu terus berlalu. Aku tumbuh dan berkembang sebagai gadis yang cantik. Popularitasku sebagai penyanyi dangdut pun makin menjulang. Dengan susah-payah, aku pun berhasil menyekolahkan kedua adikku hingga tamat SMU. Memang, keberhasilan adik-adikku bukan dari aku semata, tetapi aku memiliki kontribusi yang cukup besar untuk keberhasilan mereka. Sebab, adik-adikku juga berusaha mencari uang sendiri dari jualan koran dan mengamen di bus kota. Setahun menjelang adik bungsuku tamat SMK, aku menikah dengan seorang lelaki. Namanya, Irwan. Tetapi rumah tanggaku dengan lelaki itu tak berlangsung lama. Baru setahun,menikah, kami terpaksa bercerai. Perceraian yang sungguh menyakitkan. Aku ditipu Irwan, yang ternyata sudah beranak dan beristri. Aku sempat dilabrak oleh istrinya. Bahkan, sempat pula dituduh merebut suami orang. Padahal, demi Tuhan aku tak tahu kalau Irwan yang mengaku masih bujang itu ternyata sudah berkeluarga. Barangkali, perkawinanku dengan Irwan tak pernah terjadi, andai saja Irwan tak pernah memperkosaku. Ya, aku menikah dengan Irwan setelah diperkosa. Sebenarnya, aku tak ingin menuntut Irwan untuk menikahiku, kalau saja akibat perkosaan itu aku tidak hamil. Terus terang, aku sendiri tak pernah mengira kalau baru sekali "berbuat" lantas hamil. Tetapi, memang begitulah kenyataannya.

Irwan memang sempat menyuruhku untuk menggugurkan kandunganku. Tetapi aku tak mau. Aku tak ingin menjadi jagal untuk darah dagingku sendiri. Aku tak ingin berdosa sebagai seorang pembunuh. Jika akhirnya Irwan bersedia menikahiku, aku sendiri juga tak tahu. Yang jelas, setelah berulang kali aku menolak keinginannnya untuk menggugurkan kandunganku, ia pun menyerah pada keputusanku. Kini, anakku sudah berumur enam tahun. Dia tumbuh dan berkembang sebagai bocah yang cantik, lincah dan lucu. Seiring dengan perkembangan usianya, Yuly, anakku itu, sering merasa tidak sama dengan teman-temannya sebaya. Dia mulai sering menanyakan papanya. Dan, aku sering dibuat gelagapan untuk menjawabnya. Puncaknya, aku katakan saja kalau papanya sudah meninggal dunia. Sejak itu, Yuly memang tidak pernah lagi menanyakan papanya. Kedua adikku amat menyayangi Yuly. Perhatian mereka begitu besar dan mendalam. Ini, tentu saja amat membahagiakan buatku. Tentu juga buat Yuly sendiri. Itulah sebabnya, meski tanpa kehadiran sosok seorang papa toh tidak mengurangi kebahagiaan Yuly. Dia pun tumbuh dan berkembang sebagaimana anak-anak yang normal. Perhatian dan kasih sayangku pun aku curahkan sepenuhnya untuk Yuly.

Satu ketika, tanpa aku duga-duga, Irwan muncul di rumah. Kedatangannya yang amat tiba-tiba itu sungguh amat mengejutkanku. Dia tak pernah memberi tahu, tiba-tiba muncul di rumah dan menanyakan anaknya. Aku sempat heran, mengapa tiba-tiba saja dia peduli dengan Yuly ? Bukankah dulu dia yang menyuruhku untuk menggugurkannya ? Tetapi Irwan buru-buru minta maaf. Dia pun menunjukkan penyesalannya yang amat dalam, ketika keinginan mengaborsi darah dagingnya itu aku singgung. Bahkan, dia sempat pula mengucapkan terima kasih kepadaku, karena hampir saja menjadi seorang pembunuh untuk anak kandungnya sendiri, kalau saja waktu itu aku menuruti keinginannya untuk aborsi. Hampir tujuh tahun tak bertemu, di mataku Irwan tampak banyak berubah. Sikapnya tak lagi sebrangasan dulu. Aku mengira, sesuatu yang luar biasa terjadi pada dirinya. Aku melihat, sorot matanya memendam kepedihan yang amat mendalam. Oh Tuhan, ada apa sebenarnya dengan lelaki ini ?

Setelah beberapa kali berkunjung ke rumahku, akhirnya aku pun tahu atas apa yang terjadi pada diri Irwan. Aku pun menjadi maklum, mengapa Irwan bisa berubah sebegitu drastisnya. Memang, Irwan mengaku kepadaku telah ditinggal minggat oleh istrinya. Ya, istrinya yang pernah menuduhku merebut suami orang itu, kecantol dengan lelaki lain, dan meninggalkan Irwan begitu saja. Irwan tidak hanya kehilangan istri, tetapi juga kehilangan anak satu-satunya yang terlahir dari istrinya itu. Sang istri tidak hanya membawa harta dan anaknya saja, tapi juga meninggalkan utang yang menggunung. Untung saja Irwan bisa menutup utang itu, meski belum sepenuhnya tuntas. Tetapi aku kira bukan itu yang menyebabkan Irwan berubah. Ada yang lebih dahsyat dari itu semua.

Ternyata benar. Menurut Irwan, umurnya tidak akan panjang lagi. Dokter telah memvonis atas penyakit yang mematikan dirinya. Namun, penyakit apa yang sebenarnya diderita Irwan ? la tidak mau berterus terang kepadaku. “Yang jelas bukan penyakit menular sehingga kamu dan Yuly tak perlu merasa takut,” kata Irwan waktu itu ketika aku desak untuk berterus-terang atas penyakit yang dideritanya. Entah mengapa, tiba-tiba saja hatiku tersentuh. Aku merasa kasihan sekali dengannya. Umurnya tidak akan panjang lagi. Aku menjadi sering terharu, setiap kali secara tak sengaja melihat Irwan menatap Yuly berlama-lama. Ia menatap Yuly seolah melihat sebagian dirinya yang akan segera ditinggalkannya. Tetapi bagaimana, aku telanjur mengatakan kepada Yuly bahwa papanya telah meninggal dunia ? Apakah aku harus berterus-terang kepada Yuly bahwa yang pernah aku katakan itu tidak benar ? Lama aku merenung atas apa yang mesti aku perbuat, sebelum akhirnya aku berterus-terang pada Yuly. Mata Yuly pun terbelalak ketika pertama kali aku beritahu bahwa Irwan adalah papa kandungnya. Dia sama sekali tidak percaya. Bahkan, ia mengataiku sebagai pembohong. "Dulu kata mama, papa sudah meninggal dunia !" sergahnya dengan amat polos.

Sulit sekali untuk meyakinkan Yuly bahwa memang Irwan-lah papa kandungnya. Dia telanjur mempercayai kata-kataku yang dulu, kendati itu tidak benar. Diam-diam, aku sangat menyesal atas kebohongan yang pernah aku lakukan padanya. Terlebih, melihat kesehatan Irwan yang kian hari kian memprihatinkan. Aku pun hanya bisa berharap, semoga sebelum waktunya tiba, Yuly percaya kalau Irwan memang papa kandungnya. Tapi sebelum Yuly mempercayai kalau Irwan adalah papanya, Irwan terlebih dahulu dipanggil Tuhan akibat kanker otak yang dideritanya. Ya Tuhan, ampunilah dosa-dosaku dan dosa-dosa Irwan. (Seperti yang dikisahkan Ny.Lena Irwansyah pada Roy Pujianto)R.26

Sumber : Majalah Fakta No. 558