Thursday, April 28, 2011

Abangku Kekasihku


Bak sepasang kekasih yang dilanda asmara, kami terhanyut hingga akhirnya hilang kendali. Malam itu kegadisanku terenggut oleh abang kandungku sendiri.

Aku tak bisa memungkiri daya tarik yang dimiliki abang kandungku. Meski aku tahu dia terlarang untukku toh aku tak kuasa berpaling darinya. Benar kata orang, cinta itu buta. Begitu besar cinta yang kurasakan hingga aku rela menyerahkan kesucianku padanya. Namaku Sanny, usiaku 36 tahun. Aku mempunyai seorang kakak bernama Sonny, usianya dua tahun lebih tua dariku. Kami adalah anak-anak korban perceraian. Saat usiaku 6 tahun, ibu cerai dengan ayah. Aku dan Mas Sonny ikut nenek dan kakek dari pihak ibu di Kota Yogyakarta. Sementara ibuku bekerja di luar kota untuk membiayai aku dan Mas Sonny. Setelah bercerai dari ibu, ayah kembali ke kota asalnya di Purwokerto dan menikah lagi. Kuakui, ayahku bukan ayah yang baik. Beliau tidak pernah memberi kabar apalagi mengunjungi kami. Aku pernah ingin mencari ayah, tapi seluruh keluarga melarang. Kakek sangat marah. Katanya, kalau ayahku masih waras tentulah dia yang membiayai aku dan Mas Sonny. Sejak hari itu aku tidak berani lagi mengungkit-ungkit.

Dua tahun menjanda, akhirnya ibu menikah lagi dengan seorang duda tanpa anak. Ibu pun mengikuti suami barunya ke Kota Surabaya. Sejak kepergian ibu ke Surabaya, aku dan Mas Sonny jarang bertemu ibu. Kudengar ayah tiriku itu keberatan bila aku dan Mas Sonny ikut ibu. Perkawinan kedua ibu tidak menghasilkan keturunan. Tahun pun berganti, aku tumbuh menjadi gadis remaja. Kata orang, wajahku cukup cantik. Hobi Mas Sonny adalah melukis. Dan, obyek lukisannya selalu wajahku. Mas Sonny sangat sayang padaku, dia selalu memanjakan aku. Mungkin karena kami dibesarkan kakek berdua saja, kami pun menjadi sangat dekat. Kami tidak memiliki saudara, baik kandung maupun sepupu, karena ibu adalah anak tunggal.

Saat menduduki bangku kelas dua SMP, aku mulai tertarik pada lawan jenis. Anehnya, rasa tertarik itu justru tertuju pada Mas Sonny, bukan pada teman-teman pria di sekolahku. Dan, sepertinya Mas Sonny juga merasakan hal yang sama. Setiap kali aku melihat tubuh atletis Mas Sonny, hatiku berdebar-debar. Padahal waktu itu banyak laki-laki yang mencoba mendekatiku. Bahkan seorang teman sekelasku pernah datang ke rumah di malam minggu. Apa yang terjadi? Mas Sonny marah besar. Dia melarangku pacaran dengan berbagai alasan. Sebenarnya aku tidak pernah tertarik pada laki-laki lain kecuali Mas Sonny. Meski demikian, kami tahu perasaan itu tidak wajar sehingga kucoba menepisnya. Ternyata rasa cinta itu lebih kuat dari akal sehat kami.

Tanpa ada yang bisa mencegah, kami pun bersikap layaknya sepasang kekasih. Setiap kali ada kesempatan, kami selalu bercumbu dan tak seorang pun yang mengetahui hubungan terlarang ini. Hubungan rahasia itu berlangsung lebih dari dua tahun. Sampai akhirnya di suatu malam yang dingin, saat seluruh penghuni rumah sedang bertandang ke rumah saudara yang sedang menggelar pesta pernikahan, kami pun memanfaatkannya untuk bermesraan. Bak sepasang kekasih yang dilanda asmara, kami terhanyut hingga akhirnya hilang kendali. Malam itu kegadisanku terenggut oleh abang kandungku sendiri. Aku dan Mas Sonny sadar bahwa perbuatan itu tidak baik. Semalaman aku menangisi kekhilafan itu. Mas Sonny pun merasa sangat bersalah. Dia memukulkan tangannya ke dinding berkali-kali hingga jari-jarinya berlumuran darah. Bila tidak kuhentikan pasti cidera di tangannya semakin parah. Kami pun berjanji untuk menutup rapat kejadian ini dan tidak akan mengulanginya.

Aku dan Mas Sonny akhirnya pindah ke Surabaya mengikuti ibu dan ayah tiriku. Semula aku keberatan, karena dulu ayah tiriku tidak menginginkan kami ikut ibu. Tapi, kini ayah tiriku telah berubah. Mungkin karena tidak memperoleh keturunan, ia jadi sayang padaku dan Mas Sonny. Di Surabaya ini aku berkenalan dengan Roy. Roy adalah karyawan di sebuah perusahaan yang cukup besar di Surabaya. Usia kami terpaut empat tahun. Sayangnya, hubungan kami tidak direstui karena kami beda agama. Tiba-tiba saja Roy dipindah ke Jakarta. Akhirnya hubungan kami putus dengan sendirinya.

Ketika aku duduk di bangku kelas dua SMA, ada murid baru yang bernama Reza. Ternyata Reza adalah adik kandung Roy, mantan pacarku. Sifat Reza sangat beda dengan Roy. Reza sedikit urakan, hobinya balapan sepeda motor. Aku dan teman-teman sering melihat Reza balapan. Lama­kelamaan aku dan Reza pun pacaran. Aku dan Reza melakukan hubungan bak suami-istri hingga akhirnya aku hamil, sementara kelulusan kami tinggal satu bulan lagi. Berbagai cara kulakukan untuk menutupi perutku yang mulai membuncit hingga tidak seorang pun tahu kehamilanku kecuali Reza. Untunglah akhirnya aku bisa lulus tanpa masalah. Sayangnya Reza tidak mau bertanggung jawab. Berkali-kali aku memintanya untuk menikahiku, tapi selalu ditolak Reza dengan bermacam-macam alasan. Malah Reza menyuruhku menggugurkan kandunganku. Aku dibawanya ke suatu tempat dan disuruh meminum ramuan obat untuk menggugurkan janinku. Ternyata fisikku tak kuat hingga akhirnya aku dilarikan ke rumah sakit. Kejadian itu membuat orangtuaku tahu tentang kehamilanku. Untunglah, kata dokter, kandunganku baik-baik saja. Orangtuaku marah besar, apalagi Mas Sonny. Mas Sonny langsung mendatangi Reza dan memintanya untuk bertanggung jawab. Reza pun bersedia bertanggung jawab.

Masalahnya, kami berbeda keyakinan agama. Bagiku itu menjadi penghalang besar. Kebingunganku bertambah karena ibu mengusirku dari rumah karena malu menanggung aib. Aku disuruh tinggal di rumah Reza. Selama satu minggu tinggal di rumah Reza, aku benar-benar berada dalam kegundahan. Akhirnya aku pulang ke rumah orangtuaku dan mengadu pada Mas Sonny. Untuk memecahkan masalah, Mas Sonny membawaku ke rumah nenek di Yogya. Di kota ini aku dinikahkan dengan pria beristri bernama Rahmat dan menjadi istri ketiga. Usia Rahmat sudah separo baya dan aku menikah tanpa cinta. Tapi hanya itu satu-satunya cara untuk mengatasi keadaan, apalagi kandunganku sudah semakin membesar.

Beberapa bulan kemudian anakku lahir dan kuberi nama Ayu Sekarini. Syukurlah, Ayu lahir dalam keadaan normal, meski aku sempat meminum ramuan untuk meluruhkan janin. Tapi aku tidak tahan pada suamiku karena ternyata dia memiliki kelainan seks. Saat Ayu berusia delapan bulan, aku bercerai dari Rahmat dan kembali ke rumah ibuku di Surabaya.

Saat usia Ayu genap satu tahun, aku memutuskan untuk kuliah sambil bekerja di Kota Malang. Sementara itu anakku diasuh oleh ibu, ayah tiriku dan Mas Sonny. Karena usiaku masih muda dan tubuhku masih langsing, tak seorang pun teman di kampus ataupun tempat kerja tahu bahwa aku sudah memiliki seorang anak.

Semasa kuliah inilah aku tertarik pada dosenku, Rizal. Dia seorang duda yang ditinggal mati oleh istri dan kedua anaknya dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Dua tahun kami berpacaran sebelum akhirnya kami menikah. Suamiku sangat baik dan religius. Aku banyak dibimbing olehnya. Tapi sayang, meski usia perkawinan kami sudah menginjak sepuluh tahun, kami belum juga dikaruniai anak. Sudah empat kali aku mengalami keguguran. Berbagai pengobatan kucoba, namun tidak membuahkan hasil. Aku kasihan pada suamiku yang begitu mengharapkan anak. Di malam-malam yang sepi aku sering berpikir, mungkinkah ini hukuman dari Tuhan, karena aku pernah mencoba menggugurkan kandunganku? Ya Tuhan, bila memang demikian, arnpunilah aku.

Kini Ayu telah menjadi gadis remaja, wajahnya sangat mirip denganku. Ayu mulai menanyakan jati dirinya padaku. Rupanya dia mendengar bisik-bisik dari tetangga tentang dirinya. Ayu mengatakan bahwa ia ingin kepastian tentang ayah kandungnya. Karena kupikir Ayu sudah cukup dewasa, akhirnya kuceritakan semuanya. Aku juga minta maaf, karena dia terlahir akibat dosa yang diperbuat orangtuanya. Ayu begitu terpukul mendengar kenyataan yang kubeberkan padanya. Ternyata dia belum siap menghadapi kenyataan dirinya yang merupakan anak haram. Beberapa bulan lamanya dia tidak menyapa aku. Aku sadar sepenuhnya dan aku pantas menerima perlakuan semacam itu. Tapi itu lebih baik daripada harus membohongi seorang anak yang sudah bisa berpikir kritis seperti Ayu. Untunglah kemarahan Ayu tidak berlarut-larut. Setelah mendapat masukan dari seluruh keluarga, terutama dari Mas Sonny, akhirnya ia memaafkanku.

Reza yang mengetahui bahwa anaknya kini telah tumbuh menjadi gadis remaja, memberanikan diri menemui Ayu. Karena Ayu sudah mengetahui Reza adalah ayah kandungnya, akhirnya mereka cepat akrab dan Ayu diterima dengan baik di keluarga besar Reza. Kalau dulu aku dibesarkan oleh kakek dan nenek serta Mas Sonny, kini Ayu pun berada di bawah asuhan orang-orang yang sama.

Meski usianya sudah 38 tahun, Mas Sonny belum juga berkeluarga. Pernah kucoba menjodohkannya dengan teman kerjaku, tapi Mas Sonny menolak. Aku juga melihat Mas Sonny terlalu memanjakan Ayu, apa pun keperluan anak itu selalu dipenuhi. Mas Sonny pula yang mengantarkan dan menjemput Ayu. Melihat kedekatan Mas Sonny dan Ayu, aku teringat kedekatanku dengan Mas Sonny dulu. Jujur kuakui, aku takut hal yang sama menimpa Ayu. Aku sering membujuk Ayu untuk ikut denganku ke Kota Malang, namun Ayu tidak bersedia. Karena trauma pada masa laluku, akhirnya dengan terus terang kukatakan pada Mas Sonny, bila sesuatu yang buruk terjadi pada Ayu, aku tidak pernah akan memaafkannya. Tapi Mas Sonny mengatakan bahwa aku tak perlu cemas karena dia tulus menyayangi Ayu sebagai keponakannya. Tapi sulit bagiku mempercayai ucapannya itu. Bagaimana tidak? Aku pernah terpikat pada pesona Mas Sonny, dan tidak mustahil Ayu pun merasakan hal yang sama. Apalagi Mas Sonny belum terlalu tua. Sebagai pria, dia adalah sosok yang menarik. Dan, bisa jadi, Mas Sonny jatuh hati pada Ayu yang begitu mirip denganku.

Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Haruskah aku berterus-terang pada Ayu tentang masa laluku bersama Mas Sonny agar dia berhati-hati?Tapi aku takut, bila hal itu kukatakan malah akan menambah kebencian Ayu padaku. Tapi mana mungkin aku membiarkan Ayu terjatuh ke jurang yang sama? (Seperti dituturkan Sanny kepada Roy Pujianto)R.26

Sumber : Majalah Fakta No. 559

No comments:

Post a Comment